SI KABAYAN DISEMANGATI ZAMAN
PEMESANAN HUB:
WA : 085220060628
BBM : 5CEFDB37
Pertama
kali saya mengenal Si Kabayan ketika orang-orang tua sering mendongengkan satu
dua cerita di madrasah tempat mengaji. Atau dari Bapak (almarhum) yang pengucapan
“el, da deet”-nya dalam episode “Si Kabayan Memancing Siput” tersimpan
rapi dalam kenangan. Saya rasa setiap mereka mendongengkan Si Kabayan, ada
tujuan untuk lebih “menghibur”. Para orang tua di madrasah bermaksud agar
anak-anak tidak ngantuk, atau kecewa tercegat hujan ketika mau pulang. Bapak
selalu berhasil memindahkan suasana isak tangis saya ke tertawa dengan ucapan “el,
da deet” sambil mengangkat kaki.
Jadi
dalam rekaman pikiran saya, Si Kabayan adalah tokoh dongeng untuk memancing
tertawa. Baru kemudian saya tahu bahwa tertawa pun bermacam ragam. Achdiat K.
Mihardja menulis serangkaian cerita Si Kabayan dalam buku Si Kabayan, Manusia
Lucu dengan rasa “akademis”. Bagi Achdiat, cerita lucu haruslah berunsur ngageuhgeuykeun (mentertawan, baik
berupa kritik sosial atau kritik diri). Karenanya dalam versi Achdiat, cerita
Si Kabayan yang sudah klasik seperti dalam episode “Mencari Jalan Ke Surga”
menjadi panjang dan penuh keterangan. Belum lagi cerita baru semisal Si Kabayan
dan Sastra Kontekstual, Si Kabayan dan Filsafat Kerakusan, Si Kabayan Mau
Melawat ke Luar Negeri.
Itu
semua memberi kepercayaan kepada saya bahwa bagaimana ragam kelucuan dongeng Si
Kabayan tergantung penuturnya. Si Kabayan pun bisa menjadi apa saja. Dia hidup
di setiap zaman. Disemangati zamannya. Cerita-cerita yang tidak sesuai lagi
ditinggalkan dan lambat laun hilang dari ingatan. Dalam buku yang terbit tahun
1920-an (penulisnya seorang Belanda, tapi saya lupa detailnya karena buku itu
tidak tertemukan lagi), begitu banyak cerita Si Kabayan yang cawokah (jorok, mentertawakan tentang
seksualitas). Lambat laun cerita seperti itu hilang, meski dalam kesenian
tradisional seperti wayang golek humor cawokah menjadi ciri tersendiri
dalang-dalang tertentu.
Mungkin
karena berdasar karakter Si Kabayan seperti itu, Ajip Rosidi dalam pengantar
cerita Si Kabayan Jadi Dukun karangan Moh. Ambri menyatakan: siapapun bisa
menciptakan tokoh Si Kabayan, yang sifat-sifatnya dianggap sudah baku: kedul, teu boga kaera, cunihin, cilimit,
hawek – tentunya sifat-sifat manusia yang tidak terpuji.
Sifat-sifat
seperti itu saya rasa bermetamorfosa juga sesuai semangat zaman. Selain sifat
Si Kabayan yang disebutkan di atas, semakin sering ditemukan Si Kabayan yang
bijaksana, merdeka, dan cerdas. Dalam versi film, malah tergambarkan Si Kabayan
yang lugu, jujur, dan baik hati. Sementara sifat cunihin, cilimit dan hawek, semakin menurun frekwensinya.
Barangkali karena Si Kabayan pun berinteraksi dengan tokoh-tokoh jenaka lainnya
seperti Nasruddin Hoja atau Abu Nawas. Dalam beberapa cerita mereka ada
kesamaan. Seperti ketika Nasruddin Hoja ditanya, berapa banyak bintang di
langit? Jawabannya, sama dengan bulu keledai di tubuhnya. Si Kabayan pun ada
yang nanya seperti itu, “berapa banyak bintang di langit, tolong ikat tangan
dengan air”. Jawaban Si Kabayan, “bintang di langit sama dengan pasir di
pantai, sebelum mengikat tangan tolong buatkan dulu tali dari air itu.”.
Seperti kita tahu, Nasruddin Hoja adalah tokoh jenaka yang lebih nyupi (bersifat sufi). Jadi sifat Si
Kabayan pun bisa berubah terus menerus. Sifat abadinya hanyalah mengundang
tertawa, bagaimanapun ragamnya.
Bagi saya, sifat cunihin, cilimit, hawek, kurang ajar (terutama terhadap mertua) Si Kabayan, menjadi termaafkan dengan sifat-sifat humor. Mungkin karena kita tahu dan percaya, humor adalah maqom tertinggi dari manusia yang senantiasa belajar manusiawi.
Tahun 2004 saya mengumpulkan dongeng-dongeng Si Kabayan dalam buku Si Kabayan Jadi Sufi (Pustaka Latifah). Di buku itu tidak semua dongeng klasik Si Kabayan yang dikumpulkan, karena saya menyatukannya dengan dongeng Si Kabayan "baru" yang benar-benar karangan saya. Tahun 2017 ini saya berkesempatan lagi mengumpulkan dongeng-dongeng Si Kabayan, maka saya memilih menuliskan kembali dongeng-dongeng yang klasiknya. Si Kabayan Memancing Siput, Si Kabayan Memetik Buah
Nangka, Si Kabayan Ingin Diundang (dalam bahasa Sunda: Ngadeupaan Lincar), yang atau ada dalam buku Si Kabayan Jadi Sufi, ditambahkan dengan dongeng klasiknya yang dulu belum sempat dituliskan. Buku baru ini diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer (Gramedia Grup).
Tentu saja saya sangat berterima kepada banyak pihak yang memungkinkan saya ikut "mengingat" dan "merasakan" kelucuan Si Kabayan ini. Apa Abun Ismail (almarhum, semoga Allah swt merahmati) dan Mamah Pipin Sumirah (almarhumah, semoga Allah swt merahmati), yang pertama mengenalkan Si Kabayan kepada saya. Anak-anak saya (Semilir, Rofi, Rakey) yang selalu antusian didongengi Si Kabayan. Dan istri saya tercinta, Lina Herlina, yang sering menganggap saya sebagai Si Kabayan. Tentu semuanya terutama karena kesempata dan rahmat Allah swt.
Semoga ada manfaatnya.
0 Response to "SI KABAYAN DISEMANGATI ZAMAN"
Posting Komentar