KOLECER BARALAK



Kolecer Baralak
 Majalah BOBO, Januari 2017

Kolecer baralak adalah baling-baling dari baralak, daun kelapa kering. Tentu saja kolecer baralak berukuran kecil. Anak-anak di kampung Cilembu bisa membuatnya. Cilembu adalah sebuah kampung di kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Hari ketiga Rakey berlibur di Cilembu, Dindin mengajaknya membuat kolecer baralak.
“Kebetulan di Cilembu sedang panen padi,” kata Dindin. “Karena kolecer baralak biasanya dibuat saat panen padi.”
“Memangnya kenapa?”
“Kan dangdanannya dari pohon padi yang bulir-bulirnya sudah dipanen.”
“Apaan tuh dangdanan?”
Dangdanan itu aksesoris untuk menyimpan kolecer baralak agar bisa berputar dan disimpan di pematang sawah.”
Tentu saja Rakey tidak mengerti. Tapi pagi-pagi ketika Dindin dan Yayat menjemput, Rakey ikut ke sawah. Mereka membawa tas masing-masing, yang berisi segala perbekalan.
**
Awalnya mereka memilih baralak. Baralak yang baik adalah yang lurus dan lentur. Baralak itu dipotong sekitar sejengkal. Lidinya dihilangkan. Kedua ujungnya dirapikan. Lalu ditusuk dengan lidi sepajang satu jengkal.
“Untuk dangdanan kita pilih batang padi yang kecil dan besar,” kata Dindin. Lalu Yayat dan Dindin memilih batang-batang padi besar dan kecil. Batang padi besar dikorek dengan peso raut, pisau untuk menghaluskan atau melubangi sesuatu. Peso raut sangat tajam, ujungnya lancip. Dindin dan Yayat masing-masing membawa peso raut.
Batang padi kecil dimasukkan ke batang padi besar yang sudah berlubang. Lidi daun kelapa basah yang masih lentur ditusukkan ke batang padi, dibiarkan memanjang sebagai ekornya. Dangdanan pun selesai.
Kolecer baralak yang tadi sudah jadi, lidinya dimasukkan ke lubang dangdanan. Lalu dihadapkan ke arah angin. Angin sawah berhembus kencang. Kolecer baralak itu pun berputar. Rakey bertepuk tangan saking senangnya.
Dangdanan kolecer baralak itu diikat ke batang bambu sepanjang satu setengah meter. Lalu bambu itu ditancapkan ke pematang sawah. Kolecer baralak itu berputar semakin kencang. Ekornya yang ditambah rumbai-rumbai tali rapia bergetar tertiup angin.
“Kata ayahku, dulu di kampung kita ini ada pesta kolecer baralak,” kata Yayat. “Ratusan kolecer baralak dibuat dan ditancapkan sepanjang pematang sawah ini.”
Rakey membayangkan pematang-pematang sawah itu penuh dengan kolecer baralak. Sungguh pemandangan yang indah. Tentu mengabadikan dengan kamera kecilnya menjadi sesuatu yang berkesan.
Hari itu mereka membuat sekitar sepuluh kolecer baralak. Itu juga setelah ada anak-anak lainnya yang ikut bergabung, membantu membuat dangdanannya. Sepuluh buah kolecer baralak itu berputar bersamaan. Mereka berfoto-foto di sekitar kolecer baralak itu.
**
Kang Ramdan, anak yang punya sawah paling luas di Cilembu, mendatangi anak-anak. Kang Ramdan ini sudah kuliah di Institut Pertanian Bogor. Kang Ramdan pun ikut berfoto dan bercanda.
“Tahu tidak, ada cerita menarik tentang kolecer baralak ini,” kata Kang Ramdan. Anak-anak menggeleng.
“Rakey, anak Jakarta, tahu tidak?”
“Tidak Kang. Kolecer baralaknya juga baru tahu sekarang.”
“Ada orang pintar, sering dia memandang permainan anak-anak kolecer baralak,” cerita Kang Ramdan. “Orang pintar itu kemudian mempunyai ide, baling-baling dipakai memindahkan air dari sungai ke persawahan yang lebih tinggi. Baling-baling kemudian dipakai tenaga listrik. Baling-baling kemudian dipakai... apapun yang belum tercipta. Tahu siapa orang pintar itu?”
Anak-anak menggeleng.
“Orang pintar itu adalah... kalian. Nanti setelah besar, kalian akan terkenang dengan permainan kolecer baralak ini. Dan kalian akan mendapatkan ide besar.”
Rakey dan teman-temannya tertawa. Mereka lalu bermain sepak bola di petakan sawah yang sudah dipanen. Keringat mengalir di sekujur tubuh Rakey. Hari untungnya tidak terlalu panas. Petakan sawah untuk bermain sepak bola itu memang sengaja memilih yang diteduhi rumpun-rumpun bambu.
Permainan sepak bola baru berhenti ketika suara adzan berkumandang dari mushola. Mushola itu tidak terlalu besar, tapi bersih dan indah. Di halamannya yang luas tumbuh pohon mangga harumanis dan berbagai bunga-bungaan. Mushola itu berdiri di pinggir sawah.
“Woy, ayo ke mushola. Sepak bolanya udahan!” teriak Yayat.
Anak-anak lalu berebut mandi di pancuran. Airnya bening dan besar karena langsung dialirkan dari mataair. Rakey merasa segar mandi di air bening yang melimpah. Baju bersih dan sarung dikeluarkannya dari tas. Anak-anak lalu sholat berjamaah. Imamnya adalah Mang Asip yang tadi ikut menyabit padi.
Selesai sholat Rakey merasakan perutnya berkerubuk. Untungnya segalanya sudah disiapkan Nenek. Bekal nasi dan air pun dikeluarkan. Di bawah pohon mangga aromanis anak-anak makan perbekalannya masing-masing. Sambil makan bersama, sambil saling bercerita, saling tukar perbekalan.
Pulang dari sawah Rakey tersenyum. Pengalaman yang luar biasa. Rakey ingat apa yang dikatakan Kang Ramdan: “Orang pintar itu adalah... kalian. Dan kalian akan mendapatkan ide besar.”
Besoknya Rakey dan Dindin ke sawah lagi, kolecer baralak yang berjajar itu sudah tidak berputar lagi. Batang-batang padinya sudah mengkerut. Baling-balingnya ada yang hilang diterbangkan angin kencang.

Begitulah, usia kolecer baralak itu biasanya hanya sehari. Tapi sampai pulang ke Jakarta, Rakey selalu mengingatnya. Dia mempunyai banyak cerita dan foto untuk diperlihatkan kepada teman-teman. ***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KOLECER BARALAK"

Posting Komentar