ANAK KUCING KELIMIS MENGGIGIL KEDINGINAN
Tribun Jabar, 25 Desember 2016
Sebenarnya malas
menarik gas motor di atas kecepatan 60 km perjam. Tapi malam itu, hampir pukul
dua belas, sepanjang jalan Soekarno-Hatta yang lurus ada pemadaman listrik.
Sepanjang jalan gelap pekat. Jadi terpaksa saya harus menarik gas lebih kencang
dari biasa. Takut ada geng motor yang sering kelayapan tengah malam. Gerimis
juga masih turun menyebarkan kuyup.
Alasan kedua
tidak mau memutar gas lebih kencang, karena di belakang saya ada Anisa yang
sedang memeluk. Saya ingin menjalankan motor sepelan mungkin. Sambil ngobrol
tentang apa saja. Atau kalau ada pedagang mie tek-tek, berhenti dulu di pinggir
jalan. Tapi Anisa maunya juga ngebut. Kami baru saja pulang dari rumah sakit.
Ibu Anisa sedang dirawat. Kami pulang sebentar untuk mengambil hasil rontgen
sebelum dirawat yang ketinggalan.
“Stop... stoooppp...!”
teriak Anisa mengagetkan saya. Saya langsung menyentuh lampu sent sambil
mengerem mendadak. Untungnya tidak banyak kendaraan tengah malam seperti ini.
“Ada apa?” tanya
saya.
“Ada anak
kucing, kelimis basah, menggigil kedinginan,” jawab Anisa.
“Di mana?”
“Di belakang,
dekat got.”
“Jadi sekarang
bagaimana?”
“Kita bawa,
kasihan anak kucing itu. Siapa tahu tidak ada induknya. Siapa tahu kedinginan.”
Saya memutar
motor, lalu melaju perlahan mendekati got. Saya dan Anisa turun. Tapi tidak ada
anak kucing meski lampu senter hp sudah menerangi ke sekeliling.
“Anak kucingnya
mana?” tanya saya.
“Tadi menggigil
di sini, di samping got ini,” kata Anisa.
“Mungkin itu
bukan anak kucing.”
“Kalau bukan
anak kucing, lalu apa?”
“Tidak tahu,
pokoknya bukan anak kucing. Kamu kan hanya melihatnya sekilas. Listrik sedang
padam.”
“Tapi lampu
motor kan terang. Pasti itu anak kucing.”
“Kalau itu anak
kucing, sekarang mana?”
“Tidak tahu.”
Saya mengajak
Anisa untuk melanjutkan perjalanan. Tapi Anisa diam.
“Anak kucing
pasti mengeong. Pergi kemana pun dia pasti mengeong,” kata saya.
“Tapi bagaimana
kalau anak kucingnya bisu?”
“Memangnya ada
anak kucing bisu?”
“Bisa jadi ada.
Memangnya hanya manusia yang bisa bisu?”
Listrik masih
padam. Gerimis masih turun. Rembulan yang terhalang mega hanya tampak bulat
remangnya. Waktu saya cermati wajah Anisa saat ada lampu kendaraan yang lewat,
saya melihat ada butiran air yang mengalir dari ujung matanya.
“Kenapa menangis?” tanya saya lagi.
“Anak kucing itu
pasti sendiri. Pasti kedinginan karena bulu-bulunya basah oleh gerimis. Pasti
menggigil.”
Saya tidak bisa
bicara lagi kalau urusannya sudah seperti itu.
“Mungkin anak kucing
itu belum makan. Mungkin lapar. Mungkin semalaman dia harus menahan lapar,
sambil badannya menggigil kedinginan, sambil kegelapan karena listrik masih
padam. Mungkin....”
Saya sebenarnya
mau tertawa. Bagi kucing, listrik padam atau tidak barangkali tidak begitu
berbeda. Kucing toh tidak akan
menyalakan computer atau membaca buku. Tapi saya harus
mengerti perasaan Anisa. Dia itu memang sangat perasa. Melihat apapun dia
gampang jatuh kasihan. Itu juga yang membuat saya tidak pernah mau pindah ke
lain hati. Saya sangat mencintai Anisa.
**
“Mestinya kita
membawa anak kucing kelimis menggigil kedinginan itu ke rumah. Kita keringkan
bulu-bulunya. Lalu memberinya minum susu hangat, makan nasi dicampur ikan
matang. Dan menidurkannya di dus yang dilapisi kain-kain hangat.”
“Tapi kucing itu
tidak ada.”
“Mestinya ada. Mestinya
kita menemukannya. Mestinya....”
“Tapi tidak
mungkin kita semalaman mencari anak kucing itu.”
“Anak kucing
kelimis menggigil kedinginan.”
“Ya, anak kucing
kelimis menggigil kedinginan.”
Akhirnya kami
melanjutkan perjalanan. Di rumah sakit Anisa menunggui ibunya di dalam ruangan.
Saya istirahat di luar dengan menggelar tikar. Subuh-subuh saya sudah
dibangunkan oleh pedagang nasi kuning yang masuk ke dalam rumah sakit. Saya membeli
dua bungkus. Lalu saya memberitahu Anisa untuk makan sebelum perawat datang dan
cleaning service mengepel lantai. Tapi Anisa terdiam sambil memegangi nasi bungkus.
Wajahnya murung. Lalu dari ujung matanya mengalir sebutir air.
“Kenapa?” tanya
saya sambil menghentikan makan.
“Ingat anak
kucing kelimis menggigil kedinginan itu.”
Saya menyimpan
nasi kuning di atas tikar.
“Anak kucing itu
pasti dimakan tikus,” kata Anisa lagi.
“Tidak mungkin.
Kucing itu makan tikus. Bukan dimakan tikus.”
“Tapi anak
kucing itu kan masih kecil. Sedangkan tikus got itu besar-besar.”
“Siapa tahu anak
kucing itu dibawa induknya. Anak kucing itu digigit tengkuknya, lalu dibawa
pindah entah kemana.”
“Tapi induk
kucing seringkali tidak mau memindahkan anak kucing yang kelimis basah
menggigil kedinginan. Induk kucing hanya mau memindahkan anak-anak kucing yang
sehat.”
“Kata siapa?”
“Kata Nisa,
sepertinya seperti itu.”
Saya menyesal
mengapa tidak pernah mau membaca sedikit literatur tentang kucing. Jadi saya bisa
memaksakan pendapat dengan berdasar buku atau laporan ilmiah.
**
Anisa awalnya
menyambut anak kucing itu dengan gembira. Anak kucing itu ditimangnya,
diusap-usap bulunya, disentuh-sentuh kumisnya. Tapi kemudian anak kucing itu
diberikannya lagi kepada saya.
“Kenapa? Anak
kucing ini kan lebih lucu, sehat, dan suara meongnya begitu jelas.”
“Tapi Nisa ingin
anak kucing yang kelimis menggigil kedinginan itu.”
“Kucing itu
mungkin bisu.”
“Nisa ingin anak
kucing yang kelimis menggigil kedinginan dan bisu.”
Saya memandang
Anisa lekat-lekat. Anisa memegang tangan saya. “Maaf ya,” katanya pelan.
“Tidak apa. Ayo,
kita ke bioskop sekarang. Anak kucing ini kita kembalikan lagi ke tetangga
saya.”
Hari sabtu penonton
bioskop seringkali lebih banyak dibanding hari biasa. Apalagi filmnya yang sering
dipromosikan sejak jauh-jauh hari. Kami duduk di bangku paling belakang. Dua
kap popcorn dan dua botol air mineral menemani nonton kami. Tapi biji-biji
popcorn itu berhenti masuk mulut ketika film sudah diputar setengahnya. Konflik
cerita semakin memuncak. Tokoh utamanya semakin diharu-biru peristiwa-peristiwa
tragis menyedihkan. Para penonton diam. Mungkin menahan napas. Mungkin menahan
tangis.
Tapi saya
mendengar suara tangis itu. Semakin jelas. Waktu saya tengok Anisa, dari ujung
matanya mengalir butiran air.
“Jangan terlalu
dimasukan ke hati,” bisik saya.
Suara tangis itu
masih terdengar.
“Ini kan hanya
sebuah film.”
Suara tangis itu
masih terdengar.
“Film itu fiksi,
bohong.”
Suara tangis itu
masih terdengar.
“Film itu....”
“Nisa bukan
nangis karena film.”
Saya memandang
Anisa lekat-lekat. Saya usap butiran air yang mengalir di pipi itu.
“Nisa teringat
anak kucing yang kelimis menggigil kedinginan itu.”
Saya terpana
memandang Anisa.
“Sementara kita
bersenang-senang nonton film, anak kucing kelimis menggigil kedinginan itu
mungkin sudah dimakan tikus. Mungkin dibawa ke dalam got. Mungkin awalnya dia
mengeong kesakitan. Mungkin....”
Saya memeluk
Anisa. Jemarinya saya genggam erat sekali. Jujur harus saya katakan, saya
mencintai Anisa karena perasaannya itu. Saya
suka wanita yang perasa. Tiba-tiba lampu bioskop menyala. Film sudah
selesai. Anisa cepat membersihkan wajahnya dengan keretas tisu. Hampir semua
penonton wanita ternyata mengelap wajahnya dengan keretas tisu.
Kami keluar
bioskop paling belakang. Saya menggenggam tangan Anisa. Sesekali saya berbisik
di telinganya.
“Orang mengira
kamu menangis karena film. Padahal kamu menangis karena anak kucing kelimis
menggigil kedinginan. Dan saya semakin mencintaimu karena itu,” bisik saya.
Di pintu bioskop
saya menghentikan langkah. Teman-teman saya rupanya mau nonton bareng. Seto, Amanda,
Rido, Dini, Alex, Ni Luh, Irwan, Nadia, Hendi, Via, Romi, Rianti, Banu, Niken.
”Ketahuan ya
nonton duluan,” kata Seto. “Dari dulu nonton sendiri aja. Bawa pacar dong, atau
bareng-bareng kaya kita.”
Saya tersenyum.
Hanya tersenyum. Tangan saya yang memegang kap popcorn terasa pegal. ***
12 Mei 2016
Tribun Jabar, 25 Desember 2016
0 Response to "ANAK KUCING KELIMIS MENGGIGIL KEDINGINAN"
Posting Komentar