Puisi Pikiran Rakyat: DUNIA PEDAGANG
Pikiran Rakyat, 10 Oktober 1999
Lim siu berdagang ke seluruh dunia,
sepanjang usia, menawarkan segala.
Memang semakin laris tapi
dagangannya tak pernah habis
“Masih ada kantor ada diskotik ada
swalayan
ada bayi ada segala yang bisa
dijual,” katanya.
Begitulah Lim, si pedagang yang tak
punya apa-apa,
tak bisa merasakan angin berhembus
matahari bersinar
laut berombak, karena semuanya
sudah dilelang.
Lim selalu merasa kaya padahal tak
punya apa-apa.
Sepanjang jalan, sepanjang usia,
Lim menawarkan bumi
menawarkan air menawarkan hati.
“Masih ada lembaga HAM, partai
politik,
LSM, kejaksaan, senjata gelap,
ekstasi,
stok baru!” teriak Lim.
Kita tahu, yang ditawarkan Lim
hanya rongsokan
hujan tanpa gigil, burung tanpa
kicau,
bar tanpa minuman, badan tanpa
jiwa.
Kita memang pernah menjadi pedagang
yang menjual segala tanpa membeli.
1999, Bandung
SEMINAR TENTANG NEGARA
“Organisasikan kejahatan,” kata
sejarah
Maka aku belajar membunuh dan
mencuri
dengan perasaan kebenaran dan
keharuan
Tapi bank, hutan yang ditebang,
bumi yang digali
hanya cukup untuk sarapan pagi.
Perutku terus keroncongan meminta
isi.
“Kekenyangan adalah kematian,” kata
seniorku.
Sebagai pengelola negara, aku
belajar jadi multipora
yang melihat apapun tak lebih dari
mangsa.
1999, Jakarta
DURI
Duri,
namun duri, selalu menghalangi
Burung hantu bernyanyi sambil memandang
bulan
dengan mata berkaca. “Ah, burung
hantu tak sadar
padahal dia bisa melihat malam,”
kata ular
yang melata menyusuri hari dengan
keceriaan matahari pagi
Baginya duri seperti suara anak
mengaji.
Waktu itu bintang sedang menangis
karena sinarnya dicuri.
“Ah, bintang tak tahu bahwa setiap
jiwa punya cahaya,”
kata kunang-kunang yang terbang
menerobos kegelapan
seperti air yang setia mengalir ke
lautan hati.
Di tempat lain, sebuah buku puisi
memandang kisah lama
sambil mengisap ganja. Dia gelisah.
“Apa memang ada
duri seperti nyanyi sunyi dan sakit
seperti anak mengaji?”
1999, Bandung
0 Response to "Puisi Pikiran Rakyat: DUNIA PEDAGANG"
Posting Komentar