GADIS DI TEPI JENDELA



why do you love me
so sweet and tenderly

Setiap saya memutar lagu lama dari Koes Plus, gadis itu selalu berdiri di tepi jendela. Belum pernah kami berpandangan. Matanya selalu menatap ke jauhnya, ke sepanjang sungai Cikapundung. Saya sering memperhatikannya. Juga selalu ada perasaan ingin mengenalnya. Tapi kamar kost saya dan kamar (kost?) dia terlalu jauh, dipisahkan sungai Cikapundung. Juga suara gemuruh sungai sangat mengganggu untuk bercakap-cakap.
Maka saya hanya bisa mengira-ngira. Di sepanjang sungai berair coklat ini, di sekitar alun-alun Bandung, rumah-rumah berderet, kamar-kamar bertingkat dibuat dan dikostkan. Kadang ada kamar yang permanen, tapi ada juga yang dibikin asal jadi. Semuanya memang laku. Di seputar alun-alun ini banyak pegawai kecil butuh penginapan. Penjaga toko, waitres, gadis penghitung angka bilyard, pegawai message, salon, wts kecil yang sering nongkrong di tempat dangdutan, semuanya mencari kost-kostan di seputar sini.
Saya termasuk di antara mereka. Sudah sebulan saya bekerja di toko kue. Dari gaji yang lumayan itu saya sisihkan untuk menyewa kamar. Sengaja saya memilih kamar yang dekat sungai. Dari kamar saya tinggal selangkah untuk duduk-duduk di dam aliran sungai. Sejak kecil saya memang menyenangi suasana alam. Meski Cikapundung banyak sampahnya, tapi malam hari indah dan menyenangkan.
Setiap pulang kerja, sekitar pukul 19.00, sebelum mandi saya selalu duduk-duduk di dam sambil merokok. Tape kecil saya hampir memutar lagu yang itu-itu saja, karena saya memang tidak punya kaset banyak. Saat itulah, ketika diputar lagu why do you love me, saya selalu melihat gadis itu berdiri di tepi jendela.
Bisa jadi ia adalah seorang penjaga toko atau gadis penghitung angka bilyard. Tapi melihat wajahnya yang rada mirip Cheche Kirani, mungkin saja ia adalah pegawai hotel berbintang. Bisa saja toh ada pegawai bergaji besar yang ingin kost di seputar sini. Sudah saya bilang, siang hari memandang Cikapundung memang kurang menyenangkan karena banyak sampah, tapi malam hari tetap menggetarkan. Apalagi jika bulan memberi suasana senyap. Cikapundung malam hari seperti mencekamnya gambar-gambar film Garin Nugroho.
Ah, tapi bekerja di manapun dia, apa perdulinya saya. Yang lebih membuat penasaran, mengapa ia hanya berdiri di tepi jendela bila diputar lagu yang itu-itu saja.



y do everything
you make me hapy

Bisa jadi lagu itu adalah kenangannya. Lagu yang selalu mengingatkan akan kisah cintanya dengan pacarnya yang telah pergi entah ke mana. Bukankah tidak ada yang lebih menggetarkan di dunia ini selain mengenang perasaan yang pernah singgah? Atau mungkin ia seorang penyanyi bar yang sedang menghapal lagu itu. Atau semuanya hanya kebetulan. Kebetulan ia ingin berdiri di tepi jendela dan saya kebetulan memutar lagu itu. Bukankah tidak ada yang mustahil?
Dugaan seperti itu sebenarnya tidak menjadi pikiran saya. Hidup saya sudah penuh dengan menduga-duga. Sampai sekali waktu, ketika saya sedang memandangnya, gadis itu tersenyum. Saya berkeliling mencari kamar-kamar lain yang terbuka dan penghuninya sedang menikmati Cikapundung malam hari. Tapi tidak ada kamar yang terbuka. Berarti gadis itu tersenyum kepada saya. Saya membalas senyumnya. Saya melambaikan tangan. Saya memberi isyarat bahwa saya ingin berkenalan. Tapi dia mengggeleng.
**
why do you love me
so sweet and tenderly

Setiap pulang kerja saya memutar lagu itu. Saya melambaikan tangan begitu melihat gadis itu dan mengharap ia tersenyum. Berkali-kali saya memberikan isyarat bahwa saya ingin kenalan. Pernah saya memata-matai penghuni rumah itu, tapi gadis itu belum pernah saya dapatkan di luar rumah. Sampai sekali waktu, sepulang kerja, saya menemukan sehelai kertas di bawah pintu.
Terima kasih kamu selalu memutarkan lagu kesenangan saya. Ttd. Santi.
Sejak itu saya yakin bahwa gadis itu memberikan respon kepada saya. Saya berpikir untuk sekali waktu datang ke tempat kostnya. Saya ingin mengenalnya lebih jauh.
Terlalu berlebihan kalau dibilang saya telah jatuh cinta kepadanya. Tapi wajahnya yang lembut, senyumnya yang menawan, rambutnya yang tergerai, mengingatkan saya kepada senja di sebuah taman. Di sana, bunga-bunga yang bermekaran membentuk siluet tersendiri. Seandainya waktu adalah selembar kertas, saya akan memotongnya saat senja dengan matahari jatuh di atas taman. Saya akan membawanya ke mana-mana. Saya akan menciumnya dalam-dalam seperti saya menghirup bunga sedap malam yang harumnya tak pernah membosankan.
Begitulah, gadis dalam bingkai jendela itu menjadi semacam suasana yang menggetarkan bagi saya. Saat matanya memandang ke jauhnya, saat senyumnya mekar menjadi satu-satunya bunga yang tumbuh di deretan rumah-rumah itu, saat rambutnya tergerai dan sebagian dimainkan angin; saya mendapatkan cekaman-cekaman yang mempesona seolah saya tahu dan memahami masa lalunya. Padahal pengetahuan saya tentang dia tak lebih dari menduga-duga. Atau mungkin perasaan itu timbul karena saya telah jatuh hati kepadanya. Ah, memalukan membicarakan cinta terhadap orang yang belum dikenal sama sekali.
Malam besoknya saya menemukan lagi selembar kertas di bawah pintu. Isinya pendek saja: Tahukah kamu bagaimana menyakitkannya dicintai oleh orang yang kita cintai?
Saya tidak bisa mengerti. Mengapa mesti menyakitkan dicintai oleh orang yang kita cintai. Malah semestinya kita bersyukur. Saya ingin menanyakan arti kalimat itu kepada gadis di tepi jendela yang saya kira si pengirim surat-surat itu. Tapi gadis itu tidak lagi memperhatikan saya. Berkali-kali saya meminta perhatiannya dengan gerakan-gerakan tangan, tapi ia tetap memandang ke sepanjang sungai Cikapundung. Sampai saya cape sendiri dan membiarkan suasana sunyi seperti malam-malam lainnya. Sayup-sayup saya dengar lagu itu.


why do you love me
so sweet and tenderly

Mungkin pernyataan itu ada kaitannya dengan lagu ini. Tapi saya kehabisan imajinasi untuk mengira-ngiranya. Apalagi sejak itu si gadis di tepi jendela tidak lagi mau memperhatikan saya. Dia asyik dengan dunianya sendiri, dunia yang dibentuk oleh kesenyapan malam, gemuruh sungai, angin yang menyisir, bulan yang pucat, suara kendaraan dari kejauhan, bunyi pedagang mie tek-tek, dsb.
Saya tidak bersemangat pulang begitu waktu kerja selesai. Saya merasa gadis di tepi jendela itu tidak lagi memberi respon kepada saya. Sampai sekali waktu, sepulang kerja, saya menemukan beberapa helai kertas di bawah pintu. Warnanya sedikit menguning. Saya pikir kertas itu adalah sobekan dari buku harian karena ada tanggal dan tahunnya. Hurupnya kecil-kecil, seperti yang hati-hati menuliskannya. Dengan perasaan ingin tahu saya cepat membacanya:
Usia saya 20 tahun sekarang. Saya tidak tamat SMP ketika datang ke Bandung. Orang tua saya petani miskin. Saya anak tertua dari delapan bersaudara. Saya bekerja di sebuah swalayan. Gaji saya tidak seberapa, apalagi sebagian besar dipakai sewa kamar dan mengirim ke kampung. Saya bosan menjalani hari-hari yang serba kekurangan. Sampai kemudian seorang teman mengajari bagaimana menikmati hidup di kota besar seperti Bandung. Susah payah saya belajar menikmati hidup seperti itu. Saya menikmatinya dengan uraian airmata dan kesakitan. Tubuh saya memang mulus tapi hati saya berdarah. Saya menjual segala yang saya punya, juga pemberian Tuhan itu.
Sampai sekali waktu seorang remaja, katanya baru semester satu kuliah, menyatakan cinta kepada saya. Saya tertawa karena kata-kata cinta adalah makanan sehari-hari buat saya. Tapi ketika dia memberi cinta dengan bahasa lain, saya terhenyak dan diingatkan kembali tentang kelembutan perasaan itu. Setiap hari dia menemui saya di tempat kerja. Setiap hari dia memberi saya puisi. Setiap hari dia ingin mengantarkan saya pulang. Setiap hari dia menyatakan ingin tahu tempat kost saya dan bertandang setiap malam Minggu.
Saya takjub ketika dengan tangan yang bergetar dia menggenggam tangan saya. Dia menciumnya dalam-dalam. Ah, diam-diam saya pun merindukan perasaan seperti itu. Tapi setiap pelanggan menjemput, saya diingatkan kembali bahwa cinta telah hilang dalam hidup saya. Karenanya saya tidak memberi respon kepada remaja itu, meski dengan hati yang menangis. Dalam keadaan seperti itu, tahukah bagaimana menyakitkannya dicintai oleh orang yang kita cintai? Saya memang sudah biasa menangis dalam hati. Saya memang tidak lagi percaya dengan mulut yang bilang cinta. tapi ketika remaja itu meninggal karena berkelahi dengan seorang langganan saya  yang menjemput, saya tidak tahan.
Selembar lainnya hanya berisi sebuah kalimat: Terima kasih, kamu telah mengingatkan saya tentang cinta, makhluk yang bertahun-tahun saya bunuh tapi tak pernah mati.
Saya pikir menarik juga ceritanya. Saya bergegas ke belakang untuk menemui gadis di tepi jendela itu. Tapi belum sempat saya menggerakkan tangan untuk bertanya, gadis itu melambaikan tangan dan pergi. Benarkah ini kisah gadis yang suka lagu why do you love me itu?
Besoknya saya mendatangi rumah di seberang sungai. Tapi tak seorang pun yang tahu tentang Santi. Penghuni kamar yang jendelanya menghadap sungai itu adalah Dewi, seorang pegawai diskotik yang pergi sore pulang pagi. Saya merasa seisi rumah itu menyembunyikan Santi. Karenanya setiap pagi saya menunggu di depan rumah itu. Sampai seorang tetangga memanggil saya.
“Kamar itu memang pernah ditempati Santi, seorang penjaga swalayan, tapi itu setahun lalu,” katanya. “Entah kenapa, dia melompat ke sungai dan meninggal. Sengaja cerita itu disembunyikan biar yang kost tidak takut. Di mana kamu kenal Santi?”
Saya bergegas pulang. Saya harus secepatnya pindah kost. Tapi saya masih sempat menuliskan sebuah kalimat di buku harian: Tahukah kamu bagaimana menyakitkannya dicintai oleh orang yang kita cintai? Saya tidak berharap hantu itu terlanjur membalas cinta saya.
***

Cerpen ini pernah dimuat Pikiran Rakyat, ditulis masa awal saya datang ke Bandung, kuliah tingkat satu-an, tahun 1990-an.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "GADIS DI TEPI JENDELA"

Posting Komentar