SEPANJANG JALAN CINTA
Pikiran Rakyat, 1 Juni 2003
Ia menyusuri pematang sawah sambil tersenyum.
Udara dingin mengusap pipinya, tapi ia tidak menggigil. Nafasnya ditarik
dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan. Ia merasakan dingin yang lain dari
biasanya ini meresap ke seluruh tubuhnya. Butiran embun di daun-daun padi
menerjemahkan kebeningan hatinya. Sunyi menyelusup sampai ke tempat-temapat
terjauh dari ingatannya, saat sebutir embun menetes dari ujung reruncing daun
padi yang tidak bisa lagi menahannya. Kehangatan matahari yang mulai tampak
semburat jingga, menebar di langit, menjadikan pendar-pendar tersendiri di air
sawah, menerjemahkan gairah hidupnya. Keriangan menjalani hari-harinya
ditarikan ikan-ikan yang mengapung di kolam menyambut pagi.
Pagi ini memang
lain. Ia merasakan semuanya dengan suasana yang berbeda dari waktu-waktu lalu.
Bertahun-tahun, sejak diperbolehkan bermain di luar rumah, sawah yang luas
sejauh pandang ini begitu akrab. Hampir setiap hari ia bermain di sini. Membuat
empet-empetan, berburu burung beker saat panen, ngurek saat padi baru ditanam, atau sekedar duduk-duduk sambil
membuat kolecer baralak. Setelah
dewasa, ketika sekolah dan bekerja di kota ,
setiap pulang ia selalu menyempatkan diri berjalan-jalan di persawahan ini. Ada sepenggal bagian dari
dirinya yang tertinggal di sini, menjadi kenangan yang abadi dalam ingatan. Ia
tidak akan melupakan persawahan ini, sepanjang hidupnya.
Tapi pagi ini
memang lain. Persawahan ini menjadi begitu menakjubkan. Semuanya yang dulu
biasa-biasa saja menjadi menggetarkan. Ia tidak bisa mengatakannya, perasaan
seperti apa ini. Ia hanya merasakan, persawahan ini menjadi lain. Butiran
embun, hembusan angin, ikan-ikan, burung-burung yang mulai melintas entah mau
ke mana, seperti baru datang dari dunia keindahan yang gaib.
“Sejak kapan
keindahan seperti ini terpancar, Paman?” tanyanya kepada seorang petani. Petani
itu tersenyum. “Semuanya begitu bercahaya. Butiran embun, pohon-pohon padi,
gemercik air, rasanya baru kali ini saya rasakan seindah ini.”
“Semuanya begitu
indah, Nak, karena engkau sendiri. Engkau yang menjadikan semua memancarkan
cahaya. Karena dari tubuh engkaulah cahaya itu bermula. Yang lainnya hanya
menyerap dan ikut merasakan keindahan yang ada di tubuhmu.”
“Tapi angin
berhembus begitu lain, Paman. Rasanya angin tidak hanya menyisir pipi, tapi
menyentuh hati.”
“Karena semuanya
takjub kepada keindahan yang terpancar dari seluruh pori-pori tubuhmu. Maka
semuanya mengeluarkan potensi keindahan dari kedalaman jiwa masing-masing.”
Ia berjalan seolah
melayang. Menyusuri pematang, mengusap rumputan, menggetarkan butiran embun
yang kemudian berjatuhan, menghirup udara dalam-dalam. Dan semuanya tersenyum,
semuanya bercahaya, semuanya menunduk. Pagi ini memang lain.
Di kebeningan
kolam ia berkaca. Memandang seseorang yang terpantul dari air. Seseorang yang
selalu misterius. Tapi kali ini ia melihat orang itu begitu menawan, sejuk dan
menenangkan. Barangkali benar bahwa cahaya itu, keindahan itu, berasal dari
dirinya. Tapi ia tidak yakin, bagian mana yang mengeluarkan energi begitu
meyakinkan, sehingga alam ikut merasakan keindahannya. Diperhatikan berjam-jam
bayangan itu, tidak juga membuat ia mengenali sumber enerji itu. Barangkali ini
bukan masalah fisik. Karena seperti juga bulan, fisik hanya memantulkan cahaya,
bukan sumber dari cahaya.
Ya, ia merasa di
kedalaman jiwanya sumber energi itu bermula. Dan setiap ia menarik nafas,
energi itu menyebar ke seluruh elemen terkecil dari tubuhnya. Dialirkan darah,
dihembuskan udara, disalurkan makanan. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.
Seluruh tubuhnya bergerak begitu indah. Ia berjalan seperti menari. Ia
tersenyum seperti bunga mulai mekar. Ia memandang seperti matahari yang
memancarkan cahaya. Dan siapapun yang melihatnya, merasakan tatapannya, tidak
kuat untuk tidak merespon dengan mengeluarkan keindahan yang mereka punyai.
Keindahan yang bertahun-tahun tertimbun di kedalaman hati, terpenjara sunyi.
Berjalan
berkilo-kilo meter, melihat orang-orang tersenyum begitu menawan, pohon-pohon
merunduk hormat, matahari membelai lembut, angin menyisir hati; ia merasakan
kehadiran seseorang. Seorang gadis berkerudung, berjaket dengan tutup kepala
yang melindunginya dari gerimis, rok terusan panjang sampai mata kaki,
menggendong tas yang entah apa isinya, mungkin buku. Ya, gadis itulah yang
pertama kalinya menyemaikan pohon energi itu. Pohon energi yang kemudian
berdahan cahaya, berdaun senyuman, beranting kelembutan, dan dihias
kembang-kembang yang tidak terucapkan.
Ia tidak tahu
bagaimana awal kehadiran gadis itu menjadi energi yang begitu menakjubkan.
Sebenarnya sudah bertahun-tahun ia mengenal gadis itu. Tapi tidak pernah ada
perbincangan, tidak pernah ada saling memasuki. Pertemuan-pertemuan di Salman
atau di tempat lainnya tidak lebih dari basa-basi dua orang yang saling hapal
tapi tidak saling mengenal. Dan saat ia mulai berjalan menyusuri sunyi,
mencari-cari sesuatu yang ia sendiri tidak tahu, ia bertemu dengan gadis itu.
Mereka bercakap dengan tatapan mata, dengan senyuman, dengan hati yang selalu
bergumam sepanjang hari meski selalu
sunyi.
Perkenalan itulah yang membuat ia menjalani
hari-hari begitu lain. Ingatan dan kerinduan kepada gadis itu awalnya ia
rasakan sebagai utopia, keinginan yang melayang-layang mengejar impian.
Sepanjang hidupnya, manusia berkali-kali mengalami masa kegilaan seperti itu,
karena keinginan yang sebenarnya tersimpan di tempat yang tidak akan tergali.
Atas nama cinta – keinginan yang berbaju materialisme – kamp-kamp konsentrasi
didirikan, pencerahan dimulai dengan pembersihan ras, hak individu dicampakkan.
Hitler, Mussolini, Lenin, pernah bermimpi tentang cinta. Tapi yang mereka
lakukan adalah sebuah kegilaan. Tentu saja hasilnya hanya sunyi. Sunyi yang
memanjang beribu-ribu tahun.
Membawa-bawa rindu sekedar rindu, cinta sekedar
cinta, menjadikan ia merasa begitu kerdil. Merasa seperti seorang platonis yang
akhirnya hanya menemukan sunyi yang tidak terperi. Gadis itu telah menarik
seluruh ingatan, seluruh gerak tubuhnya, dan ia tidak berdaya. Perasaan seperti
itu barangkali sebuah kegilaan yang lain. Kegilaan dari sebuah mimpi yang hanya
melahirkan mimpi-mimpi-mimpi-mimpi-mimpi-mimpi yang lainnya.
Tentunya itu sebuah utopisme. Karena menikmati
gelegak perasaan seperti itu adalah totalitas penyerahan. Aku menjadi bagian
darinya. Dia menjadi bagian dari aku. Aku adalah dia. Dia adalah aku. Rasaku
adalah rasanya. Rasanya adalah rasa aku. Dan manusia punya keterbatasan untuk
itu. Manusia punya tubuh yang menghalangi penyerahan totalnya. Tubuh yang
kotor, yang memenjara, yang menghalangi untuk bersatu dengan sesuatu meski
cinta berdebur seperti ombak yang tidak pernah berhenti.
Rindu dan cinta akhirnya tidak lebih dari
airmata. Aku haus dan ingin minum dari telaganya, aku lapar dan ingin makan
dari nasinya, aku rindu dan ingin dipuaskan dengan memandangnya. Aku ingin
melihat dengan matanya mendengar dengan telinganya merasa dengan kulitnya
menghirup dengan hidungnya. Tapi barangkali itu utopis. Itu kegilaan.
Di sebuah persimpangan, entah malam ke berapa
dalam perjalanan tidak bertujuannya, ia bertemu dengan seorang tua yang selalu
tersenyum. Awalnya ia merasa orang tua itu penjelmaan bulan karena cahaya
wajahnya begitu lembut. Atau penjelmaan angin karena tatapan matanya menyentuh
seluruh pori-pori tubuhnya, menyentuh sampai ke kedalaman hati. Atau penjelmaan
air karena memandangnya ia seperti dibasuh dari berbagai kekotoran.
“Perasaan itu tidak utopis. Terjemahkanlah
dengan yang mahakreatif dalam dirimu. Karena rindu hanya bagian dari rindu,
karena cinta hanya bagian dari cinta. Seandainya engkau sebuah cawan, maka
cinta adalah anggurnya, dan kehidupan adalah mahapemberinya. Mabuklah, engkau
akan merasakan keindahan tak terkatakannya. Dan itu bukan utopis.”
Ia terpana mendengar suara yang terus bergaung
itu. Suara yang berhembus di angin, mengalir di air, berbisik dari kedalaman
sunyi. Dan malam itu ia merasa meminum bercawan-cawan anggur. Ia mabuk. Hingga
airmatanya mengalir deras, keringatnya keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya,
dan ia pingsan karena tidak kuat menahan gejolak yang begitu dahsyat dari dalam
tubuhnya. Begitu bangun pagi harinya, ia merasakan apapun menjadi lain.
Begitulah, ia merasa gadis yang selalu tersenyum
itu, adalah awal semuanya. Kerinduan kepadanya tidak saja terpuaskan dengan
memandang wajahnya, tapi hanya dengan melewati rumahnya, mengenang
kebiasaannya, mendengar suara tertawanya yang menyelusup dari tempat-tempat
jauh dalam ingatan, merasakan cintanya kepada apapun, sudah cukup bagi ia.
Karena fisik gadis itu memang tidak berarti lagi. Ia malah tidak hapal
bagaimana warna kulitnya, setebal apa bulu alisnya, bagaimana bentuk matanya.
Tapi ia merasa begitu dekat dengan gadis itu. Merasa bisa bercakap-cakap, bisa
saling tersenyum, saling merasakan, kapan saja dan di mana saja.
Setelah berjalan entah sampai mana, setelah
memahami bahwa dunia diciptakan tidak lebih karena cinta dan untuk cinta, ia
merasa perlu untuk menemui gadis itu.1* Sekedar mengucapkan terima kasih. Atau
mengajak melakukan perjalanan bersama, karena manusia yang dipenjara tubuh ini
memerlukan manifestasi material dengan berjalan. Di sebuah rumah yang teduh,
gadis itu telah menunggu.
“Aku telah merasakan kehadiranmu sejak
beribu-ribu kilometer jauhnya. Tapi engkau keliru, cintaku. Bukan aku sumber
dari energi mahamemabukkan itu. Lihatlah rumahku.”
Ia merasa rumah gadis itu adalah bangunan
terindah yang pernah dilihatnya. Tembok-tembok, kayu penyangga, warna cat,
genting, begitu serasi dengan alam. Menyatu dengan angin, berseri dengan bumi,
saling meresap dengan pohon-pohon, saling memancarkan keindahan dengan
bunga-bunga.
“Rumah adalah manifestasi penghuninya. Aku
merasakan keindahan yang memabukkan itu, keindahan yang meresap ke segala yang
ada di dekatku, setelah berkenalan denganmu. Engkaulah sumber energi itu,
cintaku.”
Ia tertegun. Beribu kata sanjungan dan terima
kasih yang disiapkannya, membeku di kedalaman kalbu. Barangkali ia memang telah
salah selama ini. Sumber energi itu bukan gadis itu. Karena sebagai manusia,
siapapun bisa terpicu oleh siapapun dan apapun. Gadis itu sama halnya dengan
dirinya yang kebingungan.
Saat itulah ia merasakan kehadiran orang tua itu
lagi. Suaranya yang lembut dihembuskan angin, dialirkan air, ditumbuhkan pohon,
disinarkan matahari, dikekalkan hati.
“Rasakanlah keindahan itu. Tapi jangan mencari
sumbernya dengan membayangkan sebuah wujud. Siapapun tidak sanggup
menanggungnya. Gunung-gunung akan meletus, angin akan membadai, laut akan
bergolak. Kecuali kekuatan hatimu. Kita manusia, hanya punya rindu. Rindu rasa,
rindu rupa.2*”
Ia terpana. Dadanya begitu sesak. Kepalanya
begitu pening. Kakinya begitu lelah. Tubuhnya begitu lemah menanggung gejolak
ruhnya.
“Barangkali kita harus menyebut Nama itu. Walau,
susah sungguh, mengingat-Nya penuh seluruh,3*” kata gadis itu. Lalu tubuhnya
runtuh, mengikuti ia yang telah sejajar dengan tanah. **
Cisitu-Dago, 2002
Catatan:
1.
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah membahas panjang tentang cinta dalam Raudhah Al-Muhibbin wa
Nuzhah Al-Musytaqin, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi menjadi Taman
Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu. Dalam pengantarnya, Al-Jauzi
menulis: karena cinta dan untuk cintalah
bumi ini diciptakan.
2. Amir
Hamzah menulis puisi yang begitu indah:
Satu
kekasihku
Aku
manusia
Rindu
rasa
Rindu
rupa
Saya pertama kali membaca puisi itu waktu
sekolah menengah, tidak terasa apapun kecuali untuk dihapalkan. Tapi belasan
tahun kemudian, membacanya kembali malam-malam, baris-baris pendek itu
menggetarkan lebih dari yang saya perkirakan.
3. Chairil Anwar dalam puisi Doa, menyebut
nama-Nya, tapi kemudian dilanjutkan dengan baris:
biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Menurut Goenawan Mohamad,
sebab “mengingat” mengandung faktor waktu, sedang Tuhan datang “penuh seluruh”
melalui sesuatu yang mengatasi waktu: melalui wahyu.
Empet-empetan = terompet dari batang padi
Burung beker = burung
sawah yang tidak bisa terbang
Ngurek =
memancing belut di sawah
Kolecer baralak =
baling-baling dari daun kelapa kering
Cerpen Ini Didukung Oleh:
Ingin tahu lebih banyak tentang Bait Surau? Klik saja DI SINI
Harga : Rp 35.000
Pemesanan: WA: 085772751686
0 Response to "SEPANJANG JALAN CINTA"
Posting Komentar