MIMPI
Tabloid CITRA, 17 Agustus 1997
Jhani terbangun dari tidurnya.
Nafasnya turun naik. Butiran keringat mengalir di lehernya. Piyamanya basah.
Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Begitu senyap kamar yang hanya
diterangi lampu lima watt itu.
Sepuluh menit Jhani duduk menyandar
di dinding. Matanya tidak lepas dari wajah Ela yang tertidur pulas di
sampingnya. Seperti tersenyum, pikir Jhani. Ya, Ela memang selalu tersenyum.
Senyum itulah salah satu unsur mengapa Jhani begitu terpesona dan berani
mengorbankan apa saja asal mendapatkan Ela, dulu ketika masih kuliah. Tapi
Jhani juga selalu tertarik dengan rambutnya, bibirnya, dagunya, hidungnya,
marahnya, dan semua yang ada pada Ela begitu menarik. Ah, cinta memang tidak
pernah bisa dimengerti.
Dan baru saja, dalam tidur, Jhani
bermimpi Ela meninggl dunia. Ela diusung di dalam keranda oleh orang-orang.
Jhani mengejarnya sambil berteriak-teriak. Tapi keranda Ela tidak pernah
tersusul. Pertanda apakah semua ini? Tidakkah Ela akan meninggalkannya? Orang
yang sangat dicintai, akan meninggalkannya?
Jhani ingat ketika masih kuliah ia
sering diskusi berbagai masalah, termasuk cinta.
“Jangan sampai kita merasa memiliki
sepenuhnya siapa pun dan apapun,” kata Joy, sahabatnya yang sering menulis
puisi itu, suatu kali. “Karena pada akhirnya kita akan sendirian.”
“Itu kan menurutmu saja sebagai orang
yang belum punya pacar.”
“Tapi pada akhirnya, dengan apa pun
atau siapa pun yang kita cintai, perpisahan itu akan terjadi. Kita tidak perlu
lagi mempertanyakan, apakah yang kita cintai akan meningglkan atau
ditinggalkan, karena semuanya sama saja.”
Benarkah semua itu, tanya Jhani dalam
hati. Dulu ia beranggapan bahwa Joy adalah orang yang terlalu meromantisir
segala yang dipikirkannya. Tapi sekarang ia merasa was-was. Benarkah Ela akan
meninggalkannya? Itulah pertanyaan satu-satunya, karena ia merasa tidak mungkin
akan meninggalkannya. Tapi, bukankah kalau Tuhan menghendaki ia sendiri bisa
tiba-tiba meninggal? Tuhan yang sudah lama dilupakan dalam kehidupannya,
tiba-tiba menjadi kekuatan maha dahsyat di pikiran Jhani. Sebagai manusia ia
merasa kecil dan tidak berdaya.
“Kita memang harus selalu sadar bahwa
manusia tidak sempurna. Artinya, kita ada di antara ketegangan baik dan buruk.
Tugas kita hanya berpikir dan berperilaku bagaimana menjadi manusia yang
manusiawi,” kata Joy yang sekarang jadi teman sekantornya, suatu kali. “Dan
karena kita punya perasaan dan pikiran, maka kita harus semaksimal mungkin
mengeksploitasi fungsi keduanya.”
Jhani memandang Ela yang tidur
tenang. Bibirnya seperti tersenyum. Tarikan nafasnya pelan dan dalam. Ya,
memang tidak perlu dipersoalkan apakah yang dicintai akan meninggalkan atau
ditinggalkan, pikir Jhani. Yang penting selama masih bersama kita mengungkapkan
kejujuran perasaan.
Tapi Jhani tetap merasa was-was. Dia
tidak tega untuk meninggalkan atau ditinggalkan ketika ia ingat bahwa bersama
Ela dia pernah memandang bulan di Jayagiri, berkaca di kebeningan Situ
Patenggang, memperkirakan ketinggian Gunung Merapi, menakjubi keindahan
hamparan kebun teh.
“Dunia memang menjadi indah karena
kita punya cinta dan kenangan,” kata Joy suatu kali. Ah Joy, segala sesuatunya
selalu diromantisir. Jhani tetap tidak mau bila Ela tiba-tiba saja hanya
menjadi kenangan. Maka ditepuk-tepuk pipi istrinya itu dan ia berbisik di
telinganya: “Ela, saya ingin terus-terusan mencintaimu. Saya kangen sama kamu.”
Ela yang terbangun menepiskan tangan
Jhani. Tapi Jhani tidak diam. Pelan-pelan ia mencium kening Ela, lalu turun ke
matanya, ke hidungnya, bibirnya.
“Kenapa sih mengganggu terus? Belum
cuci muka lagi. Bau.”
Ela mendorong wajah Jhani.
“Saya mencintaimu, Ela. Cinta.”
“Besok saja. Saya ngantuk. Tadi kan
kita sudah main.”
Jhani menatap istrinya yang begitu
cepat terlelap kembali. Suasana kamar begitu senyap.
**
Esoknya, sepulang kantor, Jhani
membeli setangkai mawar dan dua helai tiket wisata ke Bali. Ela yang sudah lama
tidak diperlakukan seperti itu, sejak perkawinannya tiga tahun lalu, begitu surprise.
“Jadi, Kang Jhani ngambil cuti bulan
ini dan kita liburan ke Bali?”
Jhani mengangguk. Kemudian diciumnya
kening Ela, perlahan.
“Kenapa tidak segera kau ambil vas
bunga, seperti kita masih pacaran dulu,” bisiknya.
“Ya, ya, ya,” jawab Ela gugup. Cepat
ia ke belakang, memilih vas mungil untuk setangkai mawar. Tapi pikirannya tidak
berhenti bertanya: Apa yang menyebabkan Jhani bertingkah seperti ini? Apakah
untuk menghilangkan kecurigaan? Kalau begitu, Jhani patut dicurigai? Apa yang
selama ini pernah dilakukannya? Mengkhianati? Selingkuh? Ela tetap berharap
tidak akan terjadi apa-apa setelah ini. Misalnya, besoknya ada yang bilang
bahwa suaminya selingkuh dengan teman sekantornya atau siapa saja. Atau
suaminya ketahuan menggelapkan uang kantor. Atau suaminya kena PHK. Atau
suaminya dimutasi ke tempat terpencil.
Selama seminggu Jhani dan Ela liburan
ke Bali. Mereka berenang di pantai, berkejar-kejaran, mengunjungi warung
kerajinan tangan, menikmati sunset sambil berpegangan tangan.
“Saya ingin mencintaimu sepenuhnya,”
kata Jhani suatu senja. Matanya tidak berhenti menatap Ela yang sesekali
menunduk malu. Angin mempermainkan rambut Ela yang sepunggung. Matahari yang
jatuh di riak-riak air memantulkan warna tersendiri.
“Kamu cantik Ela. Saya mencintaimu.”
“Saya juga.”
“Saya tidak ingin kita berpisah.”
“Saya juga.”
“Apapun mau kamu, asal saya mampu,
akan saya turuti.”
“Saya juga.”
Jhani mendekap Ela erat-erat. Ela
membenamkan wajahnya. Ela baru yakin bahwa suaminya memang sangat romantis.
Jhani tidak hanya melakukan hal seperti itu ketika masih pacaran atau ketika
bulan madu saja. Ela merasa dirinya sangat beruntung. Memang, perempuan mana
yang tidak tergetar ketika seorang lelaki menyatakan cintanya terus-terusan.
Pulang liburan mereka membawa
berbagai belanjaan ke rumah. Barang-barang kerajinan tangan, pakaian,
buah-buahan, mereka beli seolah waktu itulah satu-satunya kesempatan untuk
berbelanja.
Tapi selama itu Jhani tidak
memberitahukan bahwa ia pernah bermimpi Ela meninggal.
**
Setiap pulang kantor Jhani selalu
membelikan oleh-oleh. Kalau tidak bunga, ia akan membawa makanan kesukaan Ela,
atau alat rumah tangga sederhana yang malam sebelumnya diceritaka Ela. Jhani
tidak malu membeli penggorengan, baskom, pemeras jeruk, atau bumbu-bumbu dapur.
Sesekali, bila akhir pekan, Jhani
membawa Ela jalan-jalan. Kalau tidak nonton film, mereka melihat-lihat berbagai
barang di supermarket. Tentu, sebagai perempuan, Ela tertarik dengan
barang-barang yang ditata apik di etalase dan setiap hari diiklankan televisi.
Tapi Ela sadar, gaji suaminya tidak mungkin bisa membeli barang-barang menarik
itu semuanya. Utang sehabis membangun rumah sederhana yang separuh biayanya
dibantu orang tuanya itu, juga belum lunas.
Maka Ela hanya membicarakan
barang-barang itu sambil berandai-andai: bila kita memiliki itu atau mempunyai
ini. Jhani begitu terharu melihat ekspresi istrinya ketika membicarakan video
home dan laser disc karaoke.
Jhani teringat kembali mimpinya ketika istrinya diusung di dalam keranda. Dia
takut istrinya benar-benar meninggalkannya sebelum dambaannya terpenuhi. Maka
Jhani pun berusaha menambah penghasilannya. Seminggu kemudian video home dan laser disc karaoke
sudah ada di rumah.
“Ini video home dan laser
disc karaoke yang dibeli kita, Kang?” tanya Ela tidak percaya.
Jhani mengangguk. Hatinya puas
melihat mata istrinya yang bersinar dan tidak sabar untuk mencoba karaoke
dengan menyanyikan lagu Sepanjang Jalan Kenangan.
Setelah video home dan laser
disc karaoke, keinginan Ela untuk memiliki barang-barang lainnya seperti
tidak terbendung. Dia berandai-andai kamarnya memakai air conditioner,
punya kulkas, mesin cuci, pembantu rumah tangga (sebelumnya ia berpendapat
pembantu rumah hanya perlu setelah punya anak saja), mengurus tubuhnya dengan
menjadi anggota aerobik di hotel bintang lima (biar instrukturnya terpercaya,
katanya), memperbesar rumah karena terasa semakin sempit setelah barang-barang
banyak dibeli. Dan Jhani selalu berusaha mewujudkan andai-andai istrinya.
Tapi selama itu Jhani tidak menangkap
adanya tanda-tanda bahwa istrinya akan meninggal.
“Saya jadi tidak percaya lagi dengan
mimpi,” kata Jhani kepada Joy, ketika makan siang di kantin kantor.
“Lagipula siapa yang suruh percaya
dengan mimpi?”
“Maksud saya bukan itu. Saya telah
habis-habisan karena mempercayai mimpi.”
“Maksudmu, kamu menginginkan istrimu
meninggalkanmu selamanya?”
Jhani cepat menggeleng. Ya, ia baru
sadar, semestinya ia mengucapkan alhamdulillah karena tidak melihat
tanda-tanda istrinya akan meninggalkannya.
“Maksud saya, saya telah bekerja
keras memenuhi keinginan Ela. Saya memakai uang kantor.”
“Kamu korupsi?”
“Tapi saya tidak peraya lagi dengan
mimpi. Malam kemarin saya bermimpi akan ada peninjauan mendadak dan audit ketat
ke kantor kita. Tapi saya tidak percaya lagi dengan mimpi.” ****
0 Response to "MIMPI"
Posting Komentar