JANG EHON INGIN NAIK HAJi
Tribun Jabar, 28 Oktober 2012
“Saya ingin naik haji, Kang,” kata Jang
Ehon melalui ponsel.
“Alhamdulillah sudah ada keinginan,
Jang.”
“Itulah, Kang....”
“Itulah kenapa?”
“Saya risau....”
“Risau kenapa, Jang?”
“Ah, tidak tahulah, Kang... mestinya
jangan di telpon saya ceritanya. Sampai nanti saja ya, Kang. Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalam.”
Saya menyimpan ponsel. Ingin naik haji.
Sesuatu yang mudah saja, sepele, sebenarnya untuk saat ini. Bagaimanapun,
diukur dari penghasilan, gaji pegawai negeri saat ini, bukan sesuatu yang
istimewa. Rasanya, pegawai paling bawah juga bisa saja berangkat naik haji.
Tapi itu tentunya hanya diukur dari materi. Kalau diukur dengan pengukur yang
lainnya?
Risaunya Jang Ehon sepertinya saya
kenal. Kami ini sudah bersahabat sejak kecil. Berbeda usia cuma tiga tahun.
Jang Ehon itu sepupu saya, anaknya paman dari ibu. Bermain, sekolah, sering
bersama. Bekerja hampir bersamaan, hanya beda instansi. Risaunya juga
barangkali pernah saya rasakan, atau mungkin juga sedang saya rasakan.
**
Pukul satu siang Jang Ehon menjemput saya
untuk makan siang. Kami mencari tempat yang kosong dan leluasa untuk
berbincang. Memang tidak seperti biasanya. Jang Ehon hanya memesan nasi putih,
pepes ikan, dan jus alpukat. Biasanya paling sedikit nasinya dua, pepes ikan,
bakar ayam, cumi asam manis, sepertinya menu wajib bagi Jang Ehon.
“Saya benar-benar ingin naik haji,
Kang,” katanya setelah kami selesai makan.
“Memangnya kenapa dengan naik haji?
Orang lain juga kan banyak yang naik haji. Di kantor kita saja hampir semuanya
sudah naik haji. Keluarga kita juga pasti akan berbahagia. Amang dan bibi pasti
ingin juga mengadakan syukuran di kampung.”
“Tapi saya ingin naik haji yang
sebenarnya, Kang.”
Saya tetawa. “Memangnya ada yang naik haji
bohong-bohongan?”
“Bukan begitu, Kang. Kan tahu sendiri,
saya ini pegawai negeri, pegawai negeri bagian mengurusi segala proyek.
Pengadaan barang ini barang itu, saya bagiannya, saya yang mengaturnya.”
“Itu kan bagus, Jang. Kata orang mah itu téh tempat basah. Hampir semua orang kasak-kusuk ingin ditempatan di bagian itu.”
“Itulah masalahnya, Kang. Sudah jadi
rahasia umum sebenarnya, pengadaan barang ini barang itu, proyek ini proyek
itu, dipotong sampai 50%. Setengahnya buat pengusaha mengadakan barang atau
mengerjakan proyek, setengahnya lagi saya yang membagi-bagi. Kursi ini kebagian
berapa, kursi itu kebagian berapa, Bapak Kepala kebagian berapa, tentu juga
saya kebagian berapa.”
“Akang juga tahu. Kita kan sudah belasan
tahun jadi pegawai negeri.”
“Nah, kalau Akang tahu, pasti merasakan
bagaimana gelisahnya saya. Saya ingin naik haji. Naik haji yang sesungguhnya,
Kang. Saya sedang menikmati mempersiapkan diri. Saya belajar puasa Senin-Kamis,
makan tidak berlebih, solat wajib tepat waktu, membantu orang-orang di
sekeliling yang perekonomiannya morat-marit.
Saya sedang menikmati semuanya, Kang. Tapi begitu ingat apa yang saya lakukan
di kantor....”
Jang Ehon tidak melanjutkan ceritanya.
Beberapa kali dia mengelap tisu ke sudut matanya. Saya beberapa kali menyedot
jus. Saya merasa mengenal gelisah Jang Ehon. Karena saya mengalaminya, sudah
bertahun-tahun.
“Karena itulah, Kang, saya ingin
mengajukan pensiun dini.”
**
Tekad Jang Ehon sudah bulat. Saya
membantunya membuat surat pengajuan pensiun dini. Tapi katanya tidak bisa
karena Jang Ehon baru berusia 42 tahun. Pensiun dini hanya boleh diajukan oleh
pegawai yang sudah berusia 50 tahun tapi masih juga jadi staf, atau oleh
pegawai yang dinilai malas. Pak Kepala sinis ketika tahu alasan Jang Ehon
mengajukan pensiun dini.
“Pak Ehon, coba jelaskan alasan yang
sebenarnya,” kata Pak Kepala ketika Jang Ehon memberikan draf surat permohonan
pensiun dini.
“Sebenarnya saya ingin naik haji, Pak,”
jawab Jang Ehon jujur. “Naik haji yang sebenar-benarnya naik haji. Baru belajar
mempersiapkan diri saja, belajar puasa sunat, solat wajib tepat waktu, saya
banyak merasakan sakit hati. Sakit hati begitu ingat apa yang saya lakukan di
kantor, saya mesti membagi-bagikan uang....”
Pak Kepala tersenyum kecut.
“Pak Ehon, untuk mengangkat Bapak di
bagian itu saya kan tidak menerima uang sogokan sepeser pun. Saya bersih. Baru
kali ini ada pegawai yang menghina instansi seperti ini. Tidak ada pensiun
dini, Pak Ehon, yang ada juga pengunduran diri jadi pegawai!”
Jang Ehon semakin gelisah setelah
mendengar pernyataan Pak Kepala. Saya tidak bisa bicara. Kenapa juga Jang Ehon
ini mesti bicara jujur kepada orang seperti Pak Kepala. Sepulang dari rumah Pak
Kepala, saya menyarankan Jang Ehon untuk memikirkan ulang keputusannya untuk
pensiun dini.
“Kang, keputusan saya ini tidak
mendadak. Prosesnya sudah bertahun-tahun. Saya mesti meyakinkan istri, anak.
Mereka semuanya sudah mengerti. Mereka semua mendukung. Kalaupun pensiun dini
tidak bisa, mengundurkan diri juga tidak masalah. Saya sudah menghitungnya.
Kalaupun saya harus alih profesi jadi tukang bubur misalnya, saya siap, Kang.”
Saya menarik napas panjang.
“Yang selalu tidak siap adalah
memberitahu Ema dan Apa di lembur.”
**
Seperti yang saya bayangkan, Amang dan
Bibi, orang tua Jang Ehon, marah besar. Segala diungkit lagi. Segala
dipermasalahkan. Amang bicara kadang tidak jelas karena terlalu emosi. Napasnya
cepat. Saya takut sakit asmanya kambuh.
“Kamu pikir kerja kamu tuh gratis, ya.
Sekolah kamu sampai jadi sarjana sudah menghabiskan sawah dan kebun. Sawah yang
di Cipongkor dan di Cimanglid, kebun yang yang di Pasir, terpaksa dijual. Demi
apa? Demi kamu. Demi penghidupan kamu yang lebih baik. Kamu harus lebih baik
daripada Apa. Nyatanya kamu bisa bekerja yang lebih baik, jadi pegawai yang
mapan, mestinya kamu bersyukur.”
Jang Ehon menunduk. Saya juga tidak bisa
apa-apa.
“Kamu pikir pekerjaan kamu juga gratis,
ya? Kebun yang di Cantrawayang terpaksa melayang agar kamu bisa bekerja jadi
pegawai negeri. Mahal, Ehon, apa yang telah Apa keluarkan demi kamu! Mestinya
kamu berpikir untuk mengembalikan apa yang telah hilang demi pekerjaan kamu.
Mestinya kamu bersyukur sekarang ditempatkan di tempat yang basah. Orang lain mah berebut ingin ditempatkan di bagian
itu.”
Jang Ehon menangis. Dia bersujud di pangkuan
Bibi yang mengusap-usap rambutnya sambil menangis. “Amppun Apa, ampun Ema,
maafkan Ehon.”
“Sekarang tiba-tiba kamu ingin keluar
bekerja karena ingin naik haji? Naik haji seperti apa yang mengorbankan
penghidupan? Kamu itu sudah punya anak remaja, sekolah SMA, darimana biaya
sekolahnya kalau kamu berhenti bekerja? Kamu tuh goblog, Ehon! Bodoh!”
Saya menunduk. Inilah bagian tersusah.
Bagian yang saya sendiri tidak akan sanggup melaksanakannya. Bertahun-tahun
membayangkan peristiwa seperti ini membuat saya ngeri.
“Sekarang pulang sana! Kamu mikir lagi
yang bener! Masa sarjana mikirnya seperti budak angon!”
**
Jang Ehon memeluk saya erat sekali. Pipi
saya merasakan air mengalir dari pipinya.
“Terima kasih, Kang. Titip anak-anak.”
Saya mengangguk. Hanya saya sekelurga
dan kedua anaknya yang mengantar Jang Ehon dan istrinya ke bandara.
“Do’akan kami jadi haji yang mabrur ya,”
katanya, lalu melangkah bersama istrinya memasuki gerbang bandara. Baju putih
mereka berkibar-kibar. Kami melambaikan tangan.
Hari ini saya mengantarkan orang yang
sudah berhari-hari jadi bahan pembicaraan di jejaring sosial, di warung kopi,
di rumah makan, untuk pergi berhaji. Saya rasa, sampai bertahun-tahun nanti
Jang Ehon akan menjadi pembicaraan orang. Sahabat-sahabatnya, saudara-saudaranya,
orang-orang yang mendengar ceritanya, akan tetap membicarakan Jang Ehon sebagai
orang yang bodoh. Sementa saya semakin tidak yakin, apakah Jang Ehon yang
berani jujur dan memperjuangkan keputusannya yang bodoh. Ataukah orang-orang,
termasuk saya, yang terpaksa menelan kenyataan pahit bekerja di tempat yang
banyak korupsi dan manipulasi, yang bodoh. ***
Bandung, September 2012
0 Response to "JANG EHON INGIN NAIK HAJi"
Posting Komentar