PEMBUANG SAMPAH
“Buanglah sampah pada tempatnya,” kata bapaknya ketika ia masih balita.
Berpuluh-puluh tahun kemudian kalimat itu selalu berbisik-bisik di telinganya.
Kadang seperti angin yang sudah terasa dari jauhnya, dari benua atau lautan
atau pulau lain yang sempat disinggahinya, karena hakekat hidup bagi angin
adalah mengembara. Kadang begitu lembut menyisir pipi, mengeringkan keringat
saat ia beristirahat setelah bekerja seharian, atau menyusup ke seluruh tubuh
saat dihirup dalam-dalam. Kadang seperti gerimis membasahi tanah kering atau
menghijaukan daun yang seharian dikotori debu dan asap knalpot, atau meresapkan
dingin ke pori-pori kepala saat ia sengaja membiarkan diri ditimpa gerimis.
Karena itu, ketika orang-orang sibuk melamar pekerjaan ke
perusahaan-perusahaan besar, ia sudah yakin dengan pilihannya, sebagai pembuang
sampah. Setiap hari ia mengumpulkan sampah-sampah yang berceceran di
jalan-jalan di halaman perkantoran di lapangan di pasar dan di manapun. Ia
mengumpulkan sampah-sampah itu di dalam gerobak, mengangkutnya ke pembuangan
akhir, memilah-milah antara sampah yang bisa diurai dan yang tidak.
“Kenapa mau jadi pembuang sampah?” kata temannya suatu hari.
Ia tersenyum.
“Kenapa tidak jadi yang lain saja. Jadi wartawan, pegawai negeri,
pedagang, atau apalah. Kenapa jadi pembuang sampah. Apa kau betah jadi pembuang
sampah?”
Ia masih tersenyum. Dihirupnya udara dalam-dalam. Dirasakannya kelegaan
masuk ke dalam pori-pori tubuhnya, ke elemen-elemen terkecil dari sel-selnya.
Dan seperti hari-hari yang lalu, saat temannya mampir ke rumah sederhananya
(temannya menyebut: gubuk), ia akan berujar: “Saya menikmati jadi pembuang
sampah.”
**
Pukul 4 pagi ia bangun. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk makan siang.
Selesai sholat subuh ia pergi dengan menggusur gerobak sampahnya. Ia sebenarnya
punya wilayah kerja tersendiri, seperti yang diperintahkan pemerintah kota.
Tapi ia bisa pergi ke mana saja. Membersihkan sampah-sampah yang berserakan di
jalanan di pasar di sungai di perkantoran di lapangan dan di tempat lainnya
yang ia lalui. Kadang ia menangkap sampah yang dilemparkan orang dari dalam
mobil dari jendela kantor dari dapur rumah dan dari manapun yang melemparkan
sampah.
Orang-orang tidak pernah memperdulikannya. Seolah sudah suatu kewajaran;
ketika mereka membuang sampah, maka harus ada yang memungut atau menangkap, dan
mengangkutnya ke pembuangan akhir. Ia sendiri tidak pernah mengeluh dengan
perilaku orang yang sembarangan membuang sampah. Dia akan memungut atau
menangkap sampah yang dilemparkan, tanpa berkata sepatahpun. Kalaupun ada yang
memperhatikan, ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Kadang ada ibu-ibu yang memberinya bungkusan. Ia akan mengucapkan
terima kasih dan tersenyum. Biasanya, kalau tidak baju bekas, bungkusan itu
adalah makanan. Ia akan memakai baju pemberian itu esok harinya, tanda terima
kasih kepada pemberi. Kalaupun makanan yang sudah basi dan tidak layak lagi
dimakan, ia akan membuangnya bersama sampah yang lain. Ia tidak merasa
terganggu dengan itu.
Yang uring-uringan malah temannya yang datang hampir seminggu sekali ke
rumah sederhana pembuang sampah itu.
“Mengapa sih begitu betah jadi pembuang sampah? Apa kamu tidak terhina
saat orang-orang membuang sampah begitu saja, saat diberi baju bekas atau
makanan sisa. Kemajuan sudah melesat sampai ke langit, tapi kamu masih betah
jadi pembuang sampah. Bolehlah kalau kamu buta hurup, tanpa keterampilan
apapun, dan tanpa modal sepeserpun. Tapi kamu teman sekolahku, berijazah, bisa
bersaing.”
“Tapi saya dibayar untuk jadi pembuang sampah.”
“Dibayar? Apa yang kau dapatkan dari membuang sampah? Gubuk seperti ini,
makanan kurang gizi yang mesti ditanak sendiri, dan tanpa fasilitas apapun.”
“Bukan bayaran seperti itu.”
“Lalu?”
“Saya menikmati jadi pembuang sampah.”
Teman si pembuang sampah itu pergi begitu saja. Dia jengkel. Ditancapnya
gas mobil dalam-dalam. Karena itu entah kunjungan yang ke berapa kalinya. Entah
ajakan untuk jadi apa lagi setelah profesi wartawan, pedagang, pegawai negeri,
marketing, public relation, selalu ditolak. Dia merasa memperhatikan temannya.
Ingin mengangkat derajat temannya. Tapi yang diperhatikan tidak merespon yang
semestinya. Tetap teguh menjadi pembuang sampah. Omong kosong seperti apa lagi
seperti itu?
**
Pembuang sampah itu sebenarnya maklum dengan kejengkelan temannya. Tapi
pekerjaan harus dipilih. Dipilih yang memberi kenikmatan kepada diri sendiri.
Waktu boleh melaju, peradaban boleh berubah, tapi kenikmatan selalu sama.
Selalu muncul dari diri setiap individu. Individu yang jujur, yang pencinta,
yang sabar, dan yang ikhlas.
Ia ingat bagaiman bapaknya mengajarkan menikmati hidup seperti itu.
Setiap sore mereka berjalan-jalan, mengelilingi jalan-jalan di kota, masuk ke
gang-gang dan perkampungan. Mereka membawa plastik besar, memunguti sampah yang
berserakan dan membuangnya ketika mereka pulang.
“Akan selalu banyak sampah menumpuk dan bau busuk, tapi kita harus
selalu mengerjakan ini. Meski hanya satu jengkal yang bisa kita bersihkan, tapi
memberi kebaikan bagi kehidupan adalah kenikmatan,” kata bapaknya.
Waktu itu ia baru 5 tahun. Bapaknya biasa pergi pagi dan pulang
menjelang sore. Setelah mandi dan makan sekedarnya, bapaknya akan mengajak ia
berjalan-jalan. Ia tidak tahu apa pekerjaan bapaknya. Suatu malam ada mobil
berhenti di depan rumah. Lima orang berseragam tentara menggedor pintu, membawa
bapaknya dengan paksa. Dua minggu kemudian ada lagi mobil berhenti di depan
rumah. Bapaknya terhuyung-huyung mencapai pintu. Ia terpana mendapatkan
bapaknya sudah berubah. Wajahnya lebam, darah mengering di sekujur tubuhnya,
luka menganga di mana-mana dan sebagian masih mengucurkan darah. Tapi bapaknya
tersenyum.
“Bapak kenapa?”
“Disiksa.”
“Oleh siapa?”
“Oleh para pembuang sampah sembarangan.”
“Kenapa?”
Bapaknya tersenyum. Ia tidak bertanya lagi. Tapi hari-hari berikutnya,
setelah bapaknya sembuh dan mengajaknya jalan-jalan dan memunguti sampah yang
berserakan, ia mulai merasakan bagaimana menakjubkannya menjadi pembuang
sampah. Bapaknya selalu tersenyum setiap memungut sampah yang begitu busuk.
Kadang ia juga melihat air meleleh membasahi pipi bapaknya. Dan ia merasakan
sore begitu lain dari biasanya. Angin berhembus menyelusup ke seluruh elemen
tubuhnya, menggetarkan daun-daun syarafnya yang mulai memucuk. Cahaya matahari
yang mulai menjingga menerobos celah pori-porinya, menerangi seluruh bagian
tubuhnya, dan menjadikannya seperti bulan yang memantulkan cahaya begitu
sempurna.
Suatu malam bapaknya ada yang menjemput lagi dan tak pernah pulang lagi.
Tapi ia tidak lagi mempertanyakannya. Ia membantu ibunya berjualan
goreng-gorengan, bersekolah, dan sorenya melanjutkan kebiasaan berjalan-jalan
sambil memunguti sampah tanpa berkata sepatah pun. Dan setelah ia dewasa,
setelah ibunya meninggal, ia mendaftarkan diri bekerja di dinas kebersihan.
Temannya pernah datang sekali lagi. Dia mengajak si pembuang sampah
bekerja di kantornya. Tapi ia tetap menolaknya.
“Atau kalau kau menginginkan sesuatu, bicaralah. Aku akan
memberikannya,” kata temannya itu. Sebagai pekerja di sebuah BUMN yang karirnya
melesat, dia memang bisa memberikan banyak fasilitas. Banyak orang yang datang
kepadanya, mengajukan proposal, meminta dipercaya mengerjakan proyek-proyek
tertentu, atau sekedar meminta sumbangan. Dan dia begitu prihatin ketika
mendapatkan seorang sahabat terbaiknya, bekerja sebagai pembuang sampah.
Begitulah awal dia selalu datang ke gubuk si pembuang sampah itu.
“Saya hanya menginginkan satu hal saja dari kamu, tolong jangan datang
lagi ke sini.”
“Kenapa?”
“Sesungguhnya kamu membawa kebimbangan meski saya sudah begitu yakin
dengan kenikmatan ini. Kita masih bisa berteman, justru kalau tidak saling
mengusik.”
“Kamu tidak ingin sekedar bahan bangunan untuk membuat gubuk ini lebih
permanen, atau televisi untuk hiburan, atau sedikit tabungan untuk menjamin
hidupmu di masa depan, atau...”
Ia tersenyum.
“Atau kamu tidak punya keinginan lagi? Lihat di rumahku, mobil ada
empat, pembantu siap melayani apa maunya kita, makanan bergizi tinggi, mau
hiburan ke manapun tinggal pergi. Aku sudah menjadi eksekutif sekarang. Kalau
aku bisa lebih dekat dengan menteri, tidak mustahil setahun lagi aku jadi
direktur utama. Akan semakin banyak lagi uang, punya villa di Puncak, liburan
ke mancanegara, rekening yang tidak terkirakan, dan wanita-wanita...”
“Saya sudah merasa cukup dengan ini. Bagaimana saya harus menerima
pemberian orang yang masih kekurangan seperti kamu?”
Teman si pembuang sampah itu pergi begitu saja. Dia tidak mengerti,
masih ada kelucuan hidup di zaman yang serba bersaing ketat ini. Dia mencoba
menghilangkan ingatan kepada si pembuang sampah sahabatnya itu. Tapi sesekali,
ketika berangkat ke kantor, dia masih melihat temannya itu berjalan dengan
tenang sambil menggusur gerobak, memunguti sampah yang ditemuinya. Seringkali
dia ingin menginjak rem, memanggil temannya itu sekedar untuk berbincang. Tapi
yang terinjak biasanya gas. Dia semakin sering merasakan dikejar-kejar oleh sesuatu
yang tidak jelas. Sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan apapun. Dia merasa,
karena frustrasi itulah dia datang ke tempat temannya yang menjadi pembuang
sampah. ***
Cisitu, 17 Maret 2002
Pernah dimuat Republika, tanggalnya tidak ingat, dokumentasinya tidak punya
0 Response to "PEMBUANG SAMPAH"
Posting Komentar