SENYUM YANG INDAH
Tabloid Nova, 12 Desember 1999
Saya ikuti langkah kakinya yang
tenang sampai menghilang di belokan. Beberapa jenak saya melamun, sampai
pembeli berikut datang. “Sudah rutin, ya, perempuan itu mengambil jatah di
sini?” Sering langganan warung saya bertanya seperti itu. Saya mengangguk dan
tersenyum.
Saya memang terkesan dengan senyum
perempuan itu. Senyum yang indah. Senyum yang diam-diam saya rindukan dari
semua orang. Senyum yang tidak pernah saya dapatkan selama tiga puluh tahun
merantau di Jakarta yang sibuk ini. Tapi begitu saya mendapatkannya dari
perempuan itu, saya malah tidak bisa menikmatinya secara penuh. Hati saya
selalu berdebar. Bila memandang matanya yang sejuk itu, mata saya jadi perih.
“Kamu ini aneh. Masak ada senyum
seindah itu, sampai kamu ingat terus,” kata Kang Nanang, suami saya, ketika
malamnya kami ngobrol.
“Saya tidak bohong, Kang. Rasanya
bahagia bisa melihat senyum seindah itu. Tapi, kok, juga ada perasaan sedih.
Entah oleh apa.”
Kang Nanang mencubit pipi dan
memeluk saya erat-erat. Kalau sudah begitu saya tidak bisa cerita lagi.
**
Perempuan itu rutin datang ke
warung saya selepas maghrib saat pembeli tidak ada. Dia berdiri di pinggir
pintu. Kalaupun pembantu saya yang memergokinya, dia pasti bilang kepada saya.
Saya memang menganjurkan seperti itu. Saya ingin setiap hari membungkuskan nasi
buatnya dan melihat senyumnya.
Saat ini semakin banyak gelandangan
di Jakarta. Para pengamen memenuhi bus kota dan perempatan jalan. Tidak perduli
suaranya tidak memenuhi syarat. Saya pernah melihat ada yang masih balita
membawa kecrekan, alat
musik sederhana dari tutup botol minuman ringan yang dipaku di sebilah kayu,
dan menyanyi dengan suara cadel.
Para pengemis semakin berlomba menjual kesedihan dengan memamerkan cacat dan
bayi yang menangis.
Udara kota memang makin
menggerahkan. Sejak nilai tukar rupiah menurun tajam, yang diikuti naiknya
semua harga dan bangkrutnya banyak perusahaan, napas semakin sesak. Apalagi
koran selalu menulis, korupsi di tingkat atas sampai bawah, tidak pernah bisa
diselesaikan. Begitu rakus manusia saat berhadapan dengan materi. Diam-diam
saya takut mengalami hidup seperti itu. Hidup dengan hati yang membatu.
Pemerintah kemudian malah menaikkah
harga dasar bbm (bahan bakar minyak), telepon dan listrik. Berbarengan
semuanya. Sehingga harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Demonstrasi
menentangnya terjadi di mana-mana, di kota besar dan kecil. Tapi presiden cukup
menanggapinya dengan: “Kita harus hidup sederhana.” Ucapannya itu diberitakan
koran-koran berbarengan dengan peringatan ulang tahun keluarga presiden yang
menghabiskan empat milyar rupiah di hotel mewah, berbarengan dengan keluarga
presiden dan wakilnya menonton kelompok musik menghabiskan ratusan juta rupiah.
Begitu menyesakkannya hidup di negeri yang kacau, negeri dimana pemerintah dan
wakil rakyatnya penuh borok.
Kerja keras dan keuletan rupanya
tidak membawa hasil berarti. Setiap malam, saat menghitung penghasilan, saya
selalu berkerut kening memisah-misah untuk belanja esok hari, menyimpan buat
gaji dua pembantu, sewa tempat, bayar listrik, dan lain-lain. Ah, tapi ini
barangkali masalah warung nasi kecil seperti yang saya kelola. Mungkin untuk
kafe yang semakin menjamur dan harganya mahal itu tidak ada masalah seperti
ini. Apalagi di hotel-hotel yang sekali makan saja bisa sampai berjuta-juta.
Dengan dihibur artis-artis cantik, pelayan-pelayan cantik, sulap yang semakin
populer, para eksekutif itu membayar sekali ‘makan malam’ seharga ratusan nasi
bungkus. Makan, ternyata tidak lagi berarti memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
Tapi juga pesta, pengalaman, penghargaan, dan membekukan kepedulian terhadap
sesama. Karena berbarengan dengan pesta-pesta itu, seperti diberitakan koran,
gelandangan semakin banyak di kota-kota, dan di desa-desa tertentu diam-diam
masyarakat makan tiwul.
Sementara pelanggan saya hanya para
pekerja yang seharinya tidak membawa uang banyak. Sopir mikrolet, tukang
kredit, tukang bakso gerobak, mahasiswa perantauan dari keluarga pas-pasan, dan
pegawai kecil yang sekali makan berusaha tidak lebih dari tiga ribu lima ratus
rupiah. Untungnya memang tidak begitu banyak. Tapi dengan tekun mengumpulkan
yang sedikit, hidup bisa dijalani. Dengan tenang. Dengan indah. Kadang dengan
keharuan yang tidak jelas.
Saya memang sudah membiasakan diri
sejak merantau dan membuka warung nasi untuk berbagi kepada gelandangan yang
biasa mampir di depan warung. Dan di saat krisis ini, saat pengeluaran
diperketat, pemberian jatah kecil untuk gelandangan tidak bisa saya kurangi,
malah justru ditambah karena jumlah mereka juga bertambah.
Meski setiap gelandangan yang
sering lewat di depan warung tahu bahwa saya rutin memberi makan alakadarnya,
tapi tidak semua gelandangan memanfaatkannya. Mungkin yang kalah bersaing saat
mengemis atau mencari sesuatu yang bisa dijual yang melakukannya. Sementara
yang mendapat rejeki hari itu tidak mampir ke warung saya. Barangkali mereka
tahu bahwa warung kecil saya akan bangkrut bila diminta terlalu banyak. Jatah
alakadarnya itu dikhususkan bagi mereka yang tidak kuat menahan lapar hari itu.
**
Tidak ada yang saya harapkan dari
beberapa orang gelandangan yang setiap hari saya beri sedikit nasi dan lauknya
itu. Mereka tidak punya apa-apa. Ke mana-mana memakai baju yang itu-itu saja.
Bagaimana mengharapkan bayaran dari mereka?
Mereka yang setiap lepas maghrib
mampir itu memang tidak pernah bicara. Tapi mata mereka sudah merupakan jutaan
kalimat yang mengharukan dan meminta pengertian. Mereka menatap makanan yang
terpajang di dalam kaca, sampai saya atau siapa saja yang menunggu warung
memergokinya dan membungkuskan nasi dan satu potong tahu atau tempe goreng.
Hanya kepada perempuan yang usianya
saya rasa tak lebih dari 40 tahun, tapi kotor dan tampak tua itu, saya
mengharapkan sesuatu. Saya menginginkan sebuah senyum yang indah darinya.
Senyum yang selalu membuat saya bergetar, menangis, dan bersedih. Dan perempuan
itu memang selalu tersenyum setiap mampir di depan warung saya.
**
Seperti gelandangan lainnya,
perempuan itu juga tidak pernah bicara. Tapi lewat tatapan matanya dan
senyumnya, kami sering berdialog. Kami membicarakan banyak hal. Saling mengadu.
Dari setiap pertemuan, saya memunguti kisah hidupnya, menyusunnya bersama
menjadi perhiasan yang tak ternilai bagi saya.
“Saya bahagia hidup seperti ini,”
bisiknya sekali waktu. Saya mengangguk dan tersenyum tanda memahami. Saya pun
membayangkan perjalanan seorang perempuan yang bertahun-tahun ditinggal pergi
suaminya entah ke mana. Dia datang ke Jakarta karena bingung. Di desa
setiap orang membicarakannya. Dengan ijazah SMA dia menjalani hidupnya, melawan
ketidakberdayaannya.
Tubuhnya memang tidak sempurna
untuk menjadi seorang model. Dia tidak tinggi. Tapi wajahnya yang bersih dan
ceria cukup menarik perhatian setiap orang. Saat menjadi karyawan sebuah
swalayan, banyak lelaki menggodanya, dari teman kerja sampai pengunjung. Tapi
dia tahu semuanya iseng. Dia mau kalau ada yang serius menikahinya. Tapi siapa
yang mau serius dengan janda berusia tiga puluhan yang asal-usulnya pun tidak
jelas?
Setelah swalayan tempatnya bekerja
terbakar, bersama ribuan karyawan lainnya dia kehilangan pekerjaan tanpa
pesangon. Mulailah dia menjalani hidup yang tragis. Dia mengerjakan apa saja
seperti mencuci dan membantu memasak. Tapi itu tak cukup untuk hidup sederhana
dan menyewa kamar kontrakan. Banyak memang kenalannya menawari kerja di tempat
hiburan atau kafe. Tapi semua itu mesti dibarengi dengan tambahan servis genit
sampai memenuhi ajakan kencan. Dia tidak mau melakukan itu. Dia melawan
kesombongan Jakarta. Sampai nasibnya berubah besar ketika tiga orang
pengunjung tempatnya bekerja di karaoke – pekerjaan yang dia terima
dengan keterpaksaan – memberinya minuman berobat, membawanya ke sebuah rumah
dan memperkosanya.
“Tapi saya bahagia,” kata perempuan
itu, yang meninggalkan pemerkosanya begitu saja, tidak mengambil uang yang
diberikan kepadanya. “Saya bahagia bisa menolak siapa pun yang mengajak untuk
menjual diri. Saya menikmati hidup, meski kenalan saya bilang saya sok dan
kolot,” lanjut perempuan yang kemudian menggelandang dan diperkosa berkali-kali
itu. “Saya sudah melawannya. Saya tidak merasa kalah. Saya bahagia. Saya ingin
mati diam-diam, sambil tersenyum, sambil menikmati begitu indahnya lapar yang
sangat.”
**
Semakin hari saya dengan perempuan
gelandangan itu semakin akrab. Meski waktu bertemu hanya beberapa menit, tapi
kami berdialog semakin panjang. Kami sama-sama yakin bahwa kebahagiaan ada
dalam prinsip hidup, bukan dalam hasilnya. Karena itu, ketika banyak yang
menyarankan agar warung saya diubah menjadi kafe dengan penunggu wanita-wanita
muda yang cantik, saya menolaknya. Meski rincian penghasilan mereka gampang
dimengerti.
“Saya ingin bahagia dan merasakan
keindahan senyum perempuan gelandangan itu,” kata saya. Memang, setiap orang
yang mendengar alasan saya, termasuk Kang Nanang, sulit mengerti. Berkali-kali
saya menerangkannya, tapi mereka tetap menganggap saya mengada-ada. ***
0 Response to "SENYUM YANG INDAH"
Posting Komentar