PENCURI HATI
Pikiran Rakyat, 10 Mei 1998
Di PR judulnya PENCURI, cerpen ini juga ada di buku PENCURI HATI dengan judul yang sama.
Pencuri itu datang tengah
malam dan mencuri hati Dewi. Gerimis turun memburamkan kaca jendela. Jarum jam
berdetak-detak dalam tempo yang sama. Begitu bangun, Dewi merasa ada sesuatu
yang hilang. Dilihatnya pencuri itu meloloskan diri begitu saja. Dewi berlari,
mengetuk-ngetuk kamar orangtuanya.
“Ada apa?” tanya Bapak.
“Ada pencuri, Pak.”
Bapak dan Ibu memeriksa ruang tengah, dapur, kamar Dewi. Tidak ada
barang yang hilang.
“Di mana pencurinya, Wi?”
“Sudah menghilang di kegelapan.”
“Yang dicurinya apa?”
“Hati Dewi.”
Bapak dan Ibu saling memandang.
“Pencurinya tampan?” tanya Ibu.
“Ya.”
“Seperti ksatria?”
“Ya.”
“Kamu jatuh cinta, Dewi.”
“Bukan hati itu, Ma, yang hilang.”
“Lalu?”
“Hati yang lain. Hati yang menjadikan Dewi kesepian. Hati yang
menyudutkan Dewi setiap saat.”
Bapak dan Ibu saling memandang.
“Ah, tidak masuk akal, Wi.”
“Absurd.”
“Sekarang tidurlah, masih lama menunggu pagi.”
Tapi Dewi tidak bisa tidur. Dewi merasa ada sesuatu yang hilang. Dewi
merasa kesepian. Dewi menitikkan airmata. Dewi membayangkan, di luar rumah
tentu masih banyak orang yang terjaga. Teman-temannya semakin tersesat di
diskotik, sopir taksi berkumpul di depan tempat hiburan, anak-anak pengemis
berkaparan berselimut karung, tukang mie rebus dan roti bakar meladeni yang
begadang, satpam terkantuk-kantuk, seorang pengarang sedang mengetik dengan
pikiran begitu gelisah, seorang mahasiswa sedang membaca dan resah melihat
kenyataan di luar buku-bukunya, abang becak terkantuk-kantuk, pedagang mulai
berdatangan ke pasar, seorang koruptor yang diadili sedang merencanakan untuk
umroh atau menyusun skenario jawaban dengan pengacaranya atau memberi uang
damai jaksa dan hakim.
**
Sebenarnya Dewi sudah lama melihat pencuri
itu mendatanginya. Dia bisa datang ketika Dewi menonton iklan-iklan televisi,
di layar film ketika Dian Sastro berciuman, di baju-baju mode terbaru yang tak
menutupi perut yang dipamerkan dengan model gadis-gadis muda di pertokoan, di
terminal ketika seorang pencopet cilik tertangkap dan dipukuli sampai mati, di
alun-alun ketika Dewi melihat anak-anak pengemis berkaparan di tempat panas, di
rumah ketika orangtuanya menasihati bahwa orang yang baik itu adalah yang cepat
selesai kuliah dan cepat dapat kerja dan dapat uang yang banyak, di desa-desa
ketika anak-anak busung lapar disumbang berkaleng-kaleng susu oleh petinggi
negeri yang korup dengan sebaris wartawan yang siap meliput, di koran-koran
ketika Dewi membaca ada polisi over dosis narkoba ada koruptor memimpin lembaga
negara ada pencuri berdasi yang disebut-sebut sebagai petinggi negeri ada
partai yang merantai ada pemerintah yang menyengsarakan rakyatnya ada jutaan
anak-anak kekurangan gizi ada hakim yang tidak mau disuap dibunuh ada
orang-orang miskin dipukuli ada rencana membangun tempat judi yang dilegalkan.
Dan malam itu, ketika pencuri itu datang
mencuri hati Dewi, adalah saat klimaks dari pertemuan-pertemuan yang berlanjut
itu.
Besoknya Dewi mencari pencuri itu. Dia
ingin mengambil kembali hatinya. Dia tidak sanggup hidup tanpa hati. Dia tidak
sanggup hidup tidak tenteram, selalu kesepian, sakit hati, menangis.
Di kampus Dewi bertanya kepada
teman-temannya yang demonstran, kutu buku, modis, atau dosen-dosennya yang
hanya membaca buku teks ketinggalan jaman. Tapi mereka tidak ada yang tahu dan
mengerti.
“Pencuri apa?” tanya mereka.
“Hati.”
“Kamu jatuh cinta?”
“Bukan hati itu.”
“Lalu?”
“Hati yang lain. Hati yang menjadikan saya
kesepian. Hati yang menyudutkan saya setiap saat.”
“Ah, tidak mengerti.”
“Absurd.”
“Tidak masuk akal.”
Dewi menyusuri jalan dan bertanya kepada
orang-orang. Tapi mereka mengangkat bahu, berkerut kening, menggeleng. Jadi
mereka tidak ada yang tahu? tanya Dewi kepada dirinya sendiri. Di taman kota
Dewi istirahat. Di taman yang rindang itu banyak orang berteduh. Matahari
bersinar terik. Tukang es cendol dikerubungi buruh pabrik yang baru pulang.
Seorang ibu pengemis memberi makan anaknya yang ditidurkan di rumput. Sepasang
remaja duduk berduaan. Tukang parkir lari terbungkuk-bungkuk ketika ada sedan
masuk.
Dewi membuka koran dan membaca
berjuta-juta penganggur kebingungan di gang-gang kumuh di jalan-jalan di
tempat-tempat sampah, kejahatan terjadi di mana-mana, korupsi menjadi sistem
penggerak di lembaga negara di usaha swasta dan di tempat-tempat publik
lainnya, perkelahian pelajar menewaskan ratusan pelajar seolah menjadi ekspresi
untuk menyatakan eksistensi diri, jutaan orang pergi ke luar negeri menjadi
babu dan jutaan lainnya diusir-usir di negeri orang.
Dewi merasa kesepian yang sangat. Dewi
merasa dirinya telah terlepas dari kehidupan. Mungkin benar, pikirnya,
kesempurnaan manusia adalah ketika merasa tidak sempurna. Tapi, apalah artinya
merasa tidak sempurna kalau tanpa berbuat untuk menyempurnakannya? Karena
itulah, Dewi perlu mencari kembali hatinya yang telah dicuri. Hati itulah yang
menjadi penggerak untuk berbuat menyempurnakan kesempurnaan sebagai manusia.
“Saya tidak percaya!” kata seseorang.
Dialah pencuri itu.
“Kamu pencuri hati itu, kan?”
“Ya.”
“Berikan kepadaku. Aku perlu hati untuk
menyempurnakan diri sebagai manusia.”
“Saya tidak percaya! Hatimu saya curi
karena kamu tidak butuh lagi hati. Hati hanya membuat hidupmu lebih terpojok,
lebih hurt feeling, lebih
kesunyian, lebih merasa tidak sempurna. Ingat-ingatlah, apa yang kamu perbuat
ketika punya hati?”
Dewi merasa angin yang menyisir pipi
begitu perih. Dewi ingat, dari mana pencuri itu berasal. Ya, ia datang ketika
Dewi selalu merasa kesunyian, sakit hati, tidak berdaya, tidak sempurna sebagai
manusia. Dan bukan, bukan hati itu yang menyebabkannya. Tapi ketakutan yang
diterjemahkan sangat materialistik, seperti warna pergaulan selama ini.
Ketakutan hidup tidak punya rumah, mobil, belanja di tempat mewah, berwisata.
Ketakutan dikucilkan dari pergaulan. Ketakutan tersayat pisau kejujuran dan
kebenaran. Ya, Dewi merasa telah begitu lama memandang keberhasilan hidup
sebagai gemebyar cahaya material. Pikiran itulah yang mendatangkan pencuri yang
kemudian mencuri hatinya itu.
Tapi, apa orang-orang tidak merasa
kecurian? Dewi tidak mengerti. Angin yang menyisir pipi begitu perih. Di
kejauhan, seseorang, mungkin gila, berterik: “Dasar gila! Masa saya dibilang
gila! Apa tidak gila menuduh orang lain gila? Apa devinisi gila? Apa?….”
**
Tengah malam Dewi mendengar suara-suara
berbisik di kamar orangtuanya. Dewi menghampiri dan menempelkan telinga ke
pintu.
“Apa Dewi masih mencari hatinya?” Suara
Bapak yang terdengar.
“Mungkin.”
“Kasihan.”
“Kanapa kasihan? Dia harus tahu bahwa
hidup adalah sakit hati, sunyi, terpojok.”
“Mungkin dia mengira hanya dirinya yang
kehilangan. Padahal nabi-nabi, telah merasakannya sejak berabad-abad yang
lalu.”
Dewi merasa suasana rumah begitu mencekam.
Bayangan dirinya terpantul di mana-mana. Kursi, meja, gorden, karpet, dinding,
semua memantulkan dirinya. Dewi melihat seseorang yang pucat, gelisah, dan
misterius, dari setiap bayangan yang terpantul itu. Mungkin benar, pikirnya,
semua manusia bersedih ketika sendirian. Semua manusia merasa ada yang hilang
dari dirinya. Gerimis yang mengetuk-ngetuk genting menciptakan sunyi
tersendiri.
Sejak itu Dewi tidak pernah bertanya
kepada siapapun tentang hatinya yang hilang. Dewi pura-pura tidak kehilangan
sesuatu. Dewi pura-pura punya hati. **
0 Response to "PENCURI HATI"
Posting Komentar