Kebahagiaan Hati Itu Tak Ada Harganya


dongengyusrismail.blogspot.com

Saya mengenalnya sebagai Guru Ngaji. Setiap sore dia ke madrasah mengajar iqro sampai Al-Qur’an. Pekerjaan sehari-harinya berjualan bakso. Bukan membuat bakso sendiri dan punya roda atau motor sendiri. Dia bekerja di juragan bakso. Setiap hari berkeliling ke kampung-kampung memakai motor, dan pulangnya mendapat upah. Dia tinggal di rumah kontrakan sederhana bersama istri dan dua orang anaknya yang baru sepuluh dan tujuh tahun.
Suatu hari saat diajak bossnya ke Bandung, saat sedang sibuk berbelanja, dia menyempatkan sholat di masjid. Biasa setelah sholat dia berzikir dan berdo’a. Setelah berdo’a seseorang menghampiri dan mengajaknya berbincang. Entah apa yang dibicarakan awalnya, Guru Ngaji ini merasa tidak mengingat sampai sekarang, orang itu menitipkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada fakir-miskin dan anak yatim.
Setelah pulang Guru Ngaji itu membagikan yang diamanatkan kepadanya. Selanjutnya dia membuat nomor rekening. Dan setiap bulan “orang misterius” itu mentransfer sejumlah uang shodaqoh. Guru ngaji itu membagikannya kepada orang tua jompo, anak yatim dan fakir miskin. Dia sangat berbahagia ada yang mempercayai seperti itu. Sudah lama dia berniat ingin membagi rejeki dengan orang-orang yang disebutkan tadi, tapi jangankan untuk berbagi, keluarganya saja seringnya kekurangan.


Dan karena “orang misterius” itu tidak pernah berkata ada bagian untuknya, Guru Ngaji itu pun tidak pernah mengambil sedikit pun setiap membagikan uang jutaan rupiah itu. Malah bensin motor untuk mengambil uang dan berkeliling membagikan, membeli amplop, dia sendiri yang mengeluarkan uang. Itu sudah diniatkan olehnya. Itulah shodaqoh yang bisa dia berikan.
“Setiap membagikan uang jutaan rupiah, saya merasa berbahagia. Istri yang ikut membantu membagikan juga merasakan hal yang sama. Walau di rumah hanya ada beras satu kg,” kisahnya. “Mendengar orang-orang itu mengucapkan terima kasih, mendo’akan, melihat senyum dan kegembiraan di wajah mereka; itu kebahagiaan yang sulit diceritakan.”
Tentu karena keadaan perekonomian Guru Ngaji itu yang jauh dari mapan, peristiwa mengharukan sering terjadi. “Bagi orang tua jompo, selain memberikan uang, sebagian saya berikan berupa beras, minyak, kue-kue dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Para jompo itu kadang berbelanja saja bermasalah, jadi itung-itung membantunya,” kisahnya. “Bila tidak terbagikan semuanya, belanjaan itu suka dibawa dulu ke rumah. Di rumah itu kadang anak-anak saya mengetahuinya dan menginginkan kue-kuenya. Saya sering terharu melihat anak-anak berlinang air mata karena ingin kue, sementara saya tidak punya uang, dan kue-kue itu hak orang lain.”
Guru Ngaji itu sebenarnya bisa saja mengambil sebagian uang yang dititipkan kepadanya. Toh dia tidak mesti membuat laporan. Tidak akan ada orang yang tahu. Tapi dia tidak pernah melakukannya. “Kebahagiaan hati itu tidak ada harganya,” katanya. “Bila saya mengambil sedikit saja uang amanat itu, berarti saya sudah menjual kebahagiaan hati.”


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kebahagiaan Hati Itu Tak Ada Harganya"

Posting Komentar