LAGU DAUN GUGUR
Solo Pos, 18 Juni 2017
Di teras masjid
berjajar yang beristirahat. Di sudut ada yang sedang membaca Al-Qur’an. Ada
juga enam orang remaja sedang membahas sesuatu. Di sebelah saya ada yang
tiduran sambil memeriksa bon penjualan, sepertinya seorang seles.
Saya masih
termenung sambil menatap ke kejauhan. Masih bingung. Apa sebenarnya yang saya
cari? Dari sejak bakda subuh hati begitu gundah, ingin segera duduk di teras
masjid ini. Tapi sekarang setelah terlaksana, merasakan segarnya angin semilir,
menatap ke kejauhan, tidak ada pertanda apapun. Apa sebenarnya yang membuat
hati ini begitu gundah?
Tas gendong saya
buka. Buku-buku dikeluarkan. Kertas buram untuk curat-coret disiapkan dengan
penanya. Buku-buku yang menumpuk itu saya ambil satu per satu, saya perhatikan.
Semuanya tentang sejarah nabi Muhammad SAW. Ada karangan Muhammad Husain
Haikal, Khalid Muhammad Khalid, Martin Lings, terjemah Al-Qur’an yang disertai tafsir
At-Tabari, Ibnu Katsir, dan hadist mengenai ayat-ayat pilihan.
Sebenarnya saya
sudah merasa cukup dengan referensi ini. Ini adalah pekerjaan tahun kemarin.
Ada penerbit buku yang menghubungi saya, meminta naskah novel buat anak tentang
nabi Muhammad SAW. Tentu saja saya menyanggupinya. Bukankah menulis kembali
setelah hampir sepuluh tahun istirahat karena mengejar honornya?
Ya, sebenarnya
baru setahun lebih saya menulis kembali. Itu juga karena terkena PHK dari
pekerjaan. Menulis kembali tentu tidaklah mudah setelah berhenti sekian lama.
Saya mulai dari menulis satu alinea, diam bermenit-menit, melihat kamus,
membaca buku, menulis lagi satu alinea. Begitu seterusnya, sampai kemudian
lancar lagi. Belasan cerpen saya tulis setiap bulannya. Kata orang saya adalah
pengarang yang sangat produktif. Makanya kemudian ada order dari penerbit buku.
Dulu sewaktu kecil, saya menulis karena hobi. Sekarang harus jujur karena
mengejar honor. Orderan dari penerbit buku, tentu saja ditawari dengan uang
muka. Katanya buat membeli buku-buku referensi. Karena dari dulu juga saya
kolektor buku, referensi itu tidak terlalu banyak yang saya beli.
Masalahnya
muncul setelah referensi saya baca, outlane dibuat, saya hanya termenung di
depan komputer. Tangan sepertinya tidak tahu mesti memijit hurup yang mana. Tidak
hanya berjam-jam. Setiap hari, saat duduk di depan komputer, saya tidak tahu
apa yang mesti dituliskan. Padahal kalau saya menulis dengan tema lain, lancar
seperti biasanya.
**
“Ini sudah
hampir setahun sejak order itu, Mas,” katanya
seperti tidak percaya. “Mas ini kan di koran atau majalah begitu produktif,”
“Saya juga tidak
tahu, mengapa naskah novel ini begitu susah dituliskan.”
“Padahal hanya
80 halaman saja, Mas,” katanya lagi. “Mungkin Mas..., naskah sejarah nabi,
menulisnya harus... sudah rajin shalat.”
“Sudah belasan
tahun saya shalat tidak sekedar yang wajibnya.”
Akhirnya kami
sama-sama bingung. Buat saya, pengalaman ini adalah sesuatu yang aneh selama
saya jadi pengarang. Setelah teman dari penerbitan buku itu pulang, saya segera
membuka-buka lagi buku referensi, outlane yang pernah dituliskan, dan naskah
yang sudah dipaksa dituliskan.
Ingatan saya
melayang ke hampir setahun lalu saat order ini mulai dikerjakan. Ada sesuatu
dalam ingatan dan perasaan saya di teras masjid ini. Makanya hati ini begitu
gundah, ingin segera duduk di teras masjid ini. Tapi sekarang setelah berada di
teras masjid, saya hanya termenung.
Saya benar-benar
terkejut saat melihat sehelai daun diterbangkan angin, berputar-putar di atas
halaman masjid, lalu melayang perlahan dan jatuh di rambut saya. Daun kering
itu saya pegang, saya usap-usap, saya tatap. Ya, begitu banyak ternyata daun
gugur, melayang-layang, dan hinggap di haribaan bumi. Hanya daun ini yang
hinggap di rambut saya.
Saya ingat,
hampir setahun lalu, dari teras masjid ini, saya selalu melihat pemandangan
yang indah. Seorang nenek memunguti daun-daun kering yang sudah berguguran itu,
selembar demi selembar, lalu memasukkannya ke kantong pelastik.
Pemandangan itu mungkin
yang saya cari. Saya teringat bagaimana indahnya wajah nenek berusia tuju puluh lima tahun itu. Butiran
air membasahi kulit pipi keriputnya. Pemandangan itu melekat di hati saya. Hampir
setahun lalu, kemanapun saya pergi, begitu mendekati duhur saya segera ke masjid
ini. Saya takut kehilanan kesempatan melihat si nenek memunguti daun-daun
kering yang berguguran. Banyak orang yang sedang istirahat di teras masjid ini
saling bertanya, mengapa nenek itu mesti memunguti daun-daun kering selembar
demi selembar, mengapa tidak disapu saja. Kata mereka, kasihan si nenek kalau daun-daun
kering itu mesti dipungut selembar demi selembar. Tapi saya merasa mengerti,
merasa mengerti mengapa daun itu diambil selembar demi selembar.
Rasa kasihan
orang-orang itu mungkin terdengar juga oleh pengurus masjid. Besoknya daun-daun
kering yang berserakan di halaman itu disapu, dimasukkan ke tong sampah. Bakda
solat duhur, saat istirahat di teras, saya melihat halaman masjid sudah bersih.
Saya terkejut ketika dari dalam masjid terdengar orang menangis, menghiba, mengeluh,
mengapa daun-daun kering itu disapu. Orang-orang yang sedang istirahat di teras
memburu ke dalam masjid. Ternyata si nenek sedang bersimpuh sambil menangis.
Besoknya pengurus masjid tidak berani lagi menyapu daun-daun kering yang
berguguran.
Ya, saya yakin
sekarang, pemandangan nenek memunguti daun-daun kering berguguran itu yang saya
cari. Tapi sampai adan ashar kemudian berkumandang, saya tidak melihat
pemandangan itu. Hampir setahun lalu, sebelum adzan ashar si nenek sudah
selesai memunguti daun-daunnya.
**
“Baiknya ke Pak
Ustad saja nanyanya,” katanya, lalu mengajak saya ke kantor masjid.
Pak Ustad yang
juga Ketua DKM itu menatap saya lama sekali. “Mengapa menanyakan nenek itu?”
tanyanya.
“Saya... saya
seperti yang kangen melihatnya memunguti daun-daun gugur.”
Pak Ustad
menarik napas panjang. “Awalnya pengurus masjid tidak mengerti dan merasa
kasihan mengapa nenek itu memungut daun-daun gugur selembar demi selembar. Tapi
waktu daun-daun gugur itu disapu, nenek itu menangis, lalu menceritakan apa
yang dilakukannya,” kisah Pak Ustad. “Katanya, tidak apa Ustad tahu, asal
jangan diceritakan kepada siapapun. Nanti saja kalau Nenek sudah tidak ada baru
boleh ceritakan kepada yang mencari tahu apa yang Nenek lakukan.”
Saya
mendengarkan dan hanya mendengarkan.
“Sekarang Nenek
itu sudah menghadapNya. Jadi tidak masalah saya menceritakan apa yang
dilakukannya. Utamanya kepada orang yang mencari tahu seperti Bapak.”
Pak Ustad
menarik napas panjang sambil menatap ke kejauhan.
“Kalau
diringkaskan apa yang dikatakan Nenek itu seperti ini: Nenek ini orang bodoh,
Ustad. Ibadah Nenek yang tidak seberapa itu juga tidak tahu benar atau tidak.
Nenek takut celaka di akhirat. Makanya Nenek memunguti daun-daun gugur. Setiap
selembar daun dipungut Nenek menjikirkan salawat. Hanya oleh syafaat Kangjeng
Nabi, oleh cinta Kangjeng Nabi, Nenek merasa berani menghadapNya. Daun-daun
gugur biar menjadi saksi salawat Nenek, biar Nenek nanti berada di barisan
pengikut Kangjeng Nabi.”
Saya menatap Pak
Ustad dengan hati yang bergetar. Itu yang belum ada di hati saya. Menceritakan
Kangjeng Nabi Muhammad SAW tidak cukup hanya dengan data-data. Tapi yang utama
adalah hati yang rela merendahkan diri, mengakui ibadah yang tidak seberapa,
rasa cinta yang tulus dan ikhlas.
Setelah berdiam
beberapa saat, saya berkata dengan suara bergetar, “Saya berharap, daun-daun
gugur itu tidak disapu...”
“Mengapa?” Suara
Pak Ustad juga tidak kalah bergetarnya.
“Saya yang mau
memungutinya.”
Pak Ustad memeluk
saya erat sekali. Ke pundak saya terasa ada butiran air yang jatuh. Sepertinya
airmata Pak Ustad. **
Menjelang
Ramadhan 1437 H
0 Response to "LAGU DAUN GUGUR"
Posting Komentar