SUATU HARI DI NEGERIKU

Cerpen Banjarmasin Pos
Banjarmasin Pos, 22 Januari 2017

Motor metik itu melaju dengan kecepatan sedang. Malam baru saja datang. Sekilas motor yang dikemudikan Amran tidak berbeda dengan motor-motor lainnya. Tapi tunggu dulu, motor Amran tidak setergesa motor-motor yang baru pulang kerja. Mereka ingin cepat sampai ke rumah, bercengkrama dengan anak istrinya dan istirahat.
Motor Amran melaju tenang. Saat ini kan bukan waktunya orang berjalan-jalan. Oh, rupanya Amran sedang galau. Pikirannya tidak tenang. Gelisah. Apa penyebabnya? Di belakang Amran ada tas besar. Talinya diselendangkan ke tubuh Amran. Tidak akan ada yang menyangka kalau di dalam tas besar itu tersimpan uang satu miliar rupiah. Wow!
Tentu saja tidak semuanya dalam bentuk rupiah. Kebanyakan malah dalam lembaran dollar Amerika. Amran sendiri tidak tahu jumlah uang di tas itu. Tadi pagi Amran hanya dikontak kenalannya untuk mengantarkan tas ini.
“Tugasmu hanya mengantarkan tas sampai ke Jalan Odol-odol. Di bawah pohon flamboyan sudah ada orang yang menunggu. Tanya kode sandinya. Kalau jawabannya betul, kasihkan,” kata kenalannya itu. “Upahmu sepuluh juta rupiah.”
Pekerjaan menjadi pengantar gelap itu sebenarnya sudah dilakukan Amran cukup lama. Tapi dia sempat berhenti. Dia takut. Istrinya selalu bilang itu dosa. Menjadi kaki tangan koruptor, apa bedanya dengan koruptor itu sendiri? Kenalannya seringkali membujuk. Amran cukup tabah menolaknya meski upahnya terus meningkat. Dia hanya mau melakukan pengantaran bila sedang kepepet saja.
Tadi pagi adalah awal hari yang kepepet. Amran tidak bisa menolak ketika kenalannya menghubungi. Kontrakan rumah harus segera dibayarkan. Kata anaknya yang baru kelas dua SD, hanya dia sendiri yang belum membayar uang iuran pembuatan toilet sehat.
Amran bertekad, ini adalah yang terakhir dia mau menjadi pengantar gelap. Itu yang membuat Amran gelisah. Dia harus memanfaatkan pengantaran yang terakhir ini.
“Setelah ini, Akang tidak akan menjadi kurir gelap lagi,” kata Amran kepada istrinya. “Akang akan menolak meski dibayar berapapun. Akang tahu, menjadi kaki tangan koruptor tidaklah berbeda dengan koruptor itu sendiri. Akang akan menjadi pegusaha, pengusaha yang sanggup membiayai kebutuhan keluarganya. Malah menjadi tumpuan saudara-saudara dan tetangga-tetangganya yang sekarang sama-sama susahnya.”
Istrinya yang sedang menggoreng ceplok telor tersenyum kecut, senyum yang bagi dirinya sendiri tidak enak. Amran tidak meneruskan lagi kata-katanya. Dia tahu, istrinya tidak ingin diajak membicarakan pekerjaan serabutannya itu. Ah, Amran ingat, bukan istrinya yang tidak mau membicarakan itu sepertinya. Tapi hal itu sebenarnya sudah menjadi basi bagi mereka. Ya, karena pikiran ‘pengantaran yang terakhir’ itu sudah pernah dikatakannya, sejak dua tahun lalu, saat pengantaran baru dua kali dilakukan.
Maka Amran makan nasi dan ceplok telor dengan segera. Lalu mengambil jaket di gantungan paku, dan berlalu menemui kenalan pemberi pekerjaannya. Di sebuah kafe mereka bertemu.
“Pekerjaan kitu itu gampang,” kata kenalannya sambil minum kopi. “Tapi semakin hari semakin sulit. Lewat transfer rekening sudah tidak bisa. Diantar langsung seperti ini banyak mata-matanya. Makanya hati-hati, bila ada yang mengikuti, segera berbelok dan jangan sampaikan ke tempat tujuan.”
Berkali-kali Amran melihat ke kaca spion. Tidak ada motor atau mobil yang mengikuti. Semuanya melaju kencang. Di pinggir jalan yang agak gelap Amran mengerem motonya mendadak. Dia segera turun, membuka tas, mengambil beberapa gepok uang dari sebelah dalamnya, lalu dimasukkan ke pelastik yang sudah dipersiapkannya, dan memasukkan gepokan pengganti yang sudah dipersiapkannya. Pelastik berisi uang itu dilemparkannya ke semak-semak dekat tiang lampu merkuri yang padam. Setelah itu dia segera memacu motornya.


Itu yang membuat Amran gelisah. Dari dulu dia mengantar uang yang jumlahnya banyak. Tapi tidak pernah mendapat upah lebih dari sepuluh juta rupiah. Dia sendiri memang tidak tahu jumlah uang yang diantarkannya. Tapi setelah pengantaran sukses, kenalannya itu sering mengajaknya minum kopi.
“Tahu tidak, jumlah uang yang kamu antar tadi itu adalah 1,3 miliar rupiah,” kata kenalannya sekali waktu.
Tentu saja Amran bengong. Sebanyak itu? Makanya kali ini Amran ingin memanfaatkan kesempatan. Setelah sampai ke tempat yang dijanjikan, menyerahkan tas ke pengantar berikutnya, Amran segera pulang. Amran berdoa semoga uang di dalam pelastik yang dilemparkan ke semak-semak tidak ada yang menemukan, karena baru besok dia berniat mau mengambilnya.
Begitu sampai di jalan Odol-odol, di tempat yang sudah ditentukan, sudah ada orang yang menunggu. Tidak banyak percakapan yang dilakukan Amran. Dia hanya bertanya kata sandi, ketika dijawab tepat, maka tas besar itu pun diserahkan.
**

Pengantar kedua namanya Doni. Dia pun hanya bertugas mengantar tas ke depan super market Oncom. “Nanti akan ada orang yang habis belanja menghampirimu. Tanyakan saja kata sandinya. Bila jawabannya betul, kasihkan. Makanya kamu menunggu harus tepat di samping ATM.” Begitu instruksi dari pemberi tugasnya. “Upahmu sepuluh juta rupiah, ambil ke sini setelah pekerjaan selesai.”
Doni pun sama gelisahnya dengan Amran. Anaknya sedang dirawat di rumah sakit. Dia tidak punya asuransi atau BPJS. Sebagai pasien umum, pembayarannya pasti mahal. Belum lagi cicilan motor sudah hampir tiga bulan menunggak. Kolektor sudah beberapa kali menghubungi mau mengambil motornya. Wah, kalau tidak ada motor, bagaimana dia mau bekerja sebagai seles makanan ringan?
“Kita ini adalah golongan yang terjepit,” kata Doni kepada istrinya. “Pemerintah hanya memperhatikan pegawai negeri. Gaji PNS terus naik. Katanya agar korupsi bisa minimal. Nyatanya seleksi jadi pegawai negeri sendiri menjadi lahan korupsi yang sangat besar. Sudah menjadi pengetahuan umum, jalan belakang atau sogok menyogok untuk menjadi PNS seharga ratusan juta rupiah.”
“Maksud Akang gimana?” tanya istrinya tidak mengerti.
“Pemerintah juga katanya memperhatikan orang miskin dengan memberi Bantuan Langsung Tunai, kartu sehat, beras miskin. Tapi kita, dibilang miskin katanya tidak karena kita masih muda dan punya pekerjaan. Sementara Akang menjadi pekerja rendah di sektor swasta, meski sudah bekerja keras, tidak cukup hanya untuk hidup sederhana, membayar sekolah anak-anak, apalagi membayar BPJS.”
“Maksud Akang?” Istrinya tetap tidak mengerti.
“Ya, Akang akan mengambil lagi tawaran mengantarkan uang itu.”
Makanya di tempat gelap Doni pun menghentikan motornya, mengambil uang dari tas, memasukkannya ke dalam pelastik, dan melemparkannya ke gorong-gorong gelap. Pulang menyelesaikan pekerjaannya, Doni berdoa malam ini tidak turun hujan. Karena kalau hujan, usahanya sia-sia. Uang itu akan terbawa air.
**

Tujuan akhir kantong besar berisi uang satu miliar rupiah itu adalah rumah seorang pejabat legislatif. Begitu motor berhenti di depan gerbang, pintu gerbang itu langsung membuka. Rupanya satpam sudah diberitahu akan datang tamu istimewa itu. Tas besar berisi uang satu miliar rupiah dari seorang pejabat dinas yang meminta anggarannya disahkan dalam APBD, dibawa oleh pembantunya.
“Ayo siapkan semennya. Uang ini harus kita simpan di dalam tembok,” kata pak pejabat. “Saya mendengar kabar tidak enak, rumah kita katanya mau digeledah besok atau lusa.”

Pembantunya segera mengambil semen dan mengguyurnya dengan air. Pak pejabat itu pun membuka tas. Uang gepokan seratus ribuan yang berwarna merah berjajar rapi. Tapi begitu dikeluarkan satu per satu, pak pejabat terkejut. Di bawah gepokan uang berwarna merah itu... adalah gepokan kertas hvs putih. ***

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SUATU HARI DI NEGERIKU"

Posting Komentar