Cerpen Tribun Jabar: DEWI
Tribun Jabar, 20-12-2015
Saya berangkat berdua bersama Dewi ke kota
kabupaten. Maksudnya mau mengikuti Pelatihan Kurikulum Bagi Guru Sasaran selama
lima hari. “Lumayan, ada uang sakunya,” kata bapak Kepala Sekolah sambil
tersenyum. Ya, saya dan Dewi adalah guru honor yang gaji sebulannya hanya dua
ratus ribu rupiah. Makanya maklum saja kalau bapak Kepala Sekolah mengatakan
ada uang saku sambil tersenyum.
Hari pertama, setelah istirahat dan makan, Dewi
bilang mau ke toilet. Tapi sampai jam masuk pelatihan berikutnya Dewi tidak
datang lagi. Tentu saja saya penasaran. Saya minta ijin ke toilet. Di toilet
ternyata tidak ada siapa-siapa. Kemana Dewi?
Sambil mengikuti pelatihan saya terus bertanya
kepada diri sendiri. Apakah Dewi pulang? Sejak awal dia selalu bilang malas
sebenarnya mengikuti pelatihan ini. Tapi harus diakui, sayang juga melewatkan
mendapatkan uang saku seratus ribu rupiah per hari dan seratus ribu rupiah
pengganti ongkos. Seandainya Dewi pulang, tentu menjadi mubajir uang saku dan
pengganti ongkos itu. Karena uang itu belum bisa diambil.
Atau Dewi jalan-jalan? Ada kemungkinan seperti itu.
Kadang pikiran Dewi itu nakal. Pelatihan ini sebenarnya tidak dia perlukan.
Dewi itu orang pintar. Membaca buku petunjuk pelaksanaan saja dia sudah
mengerti apa yang mesti dilakukan dengan metode kurikulum terbaru itu. Jadi,
daripada mendengarkan orang bicara apa yang sudah dimengertinya, dia lebih baik
jalan-jalan. Tapi kenapa dia tidak memberitahu dan mengajak saya? Kemana dia
jalan-jalan?
Karena sampai malam pun Dewi tidak pulang saya mulai
cemas. Ibunya bicara khusus kepada saya sebelum kami berangkat.
“Tolong Dewi diperhatikan dan diperingati ya. Dewi
itu kadang-kadang nakal,” kata ibunya Dewi.
Dengan begitu saja saya sudah merasa bertanggung
jawab. Karenanya semalaman saya tidak bisa tidur. Pagi-pagi saya dibangunkan
dengan suara-suara ribut di halaman. Kebetulan kamar tempat saya menginap
paling depan, dekat dengan halaman depan. Saya melongokan kepala melalui
jendela.
“Lima belas ribu saja dua bungkus ya, Bu. Saya beli
empat bungkus deh,” kata seorang peserta pelatihan sambil menimang-nimang
bungkusan ranginang.
“Saya juga mau beli empat bungkus buat oleh-oleh
kalau boleh segitu, Bu,” kata yang lain.
Saya terpesona. Saat si ibu penjual oleh-oleh itu
menengok kepada saya, beberapa jenak kami saling memandang. Wajah si ibu itu
mirip Dewi. Begitu saya sadar saya langsung keluar kamar. Tapi si ibu penjual
oleh-oleh itu sudah berlalu. Bakul bawaannya belum diikat selendang ketika dia
berlari. Saya mengejarnya.
“Bu, Bu, mengapa berlari?” tanya saya sambil
memotong langkahnya.
Si ibu terkejut.
“Mengapa Ibu berlari? Ibu tahu dimana Dewi?” tanya
saya langsung ke tujuan.
Ibu itu menggeleng. “Tidak. Tidak tahu,” katanya
gugup.
Tapi saya tahu, Ibu itu menyembunyikan sesuatu.
“Kalau begitu, saya ikut kepada Ibu. Saya harus
menemukan Dewi.”
Ibu penjual ranginang
itu tidak bisa menolak. Kami pun lalu berjalan beriringan. Rumahnya ternyata di
pinggiran kota kabupaten. Melalui jalan desa yang berlubang-lubang, persawahan
dan pinggiran sungai.
“Kenapa mesti mencari Dewi?” tanya si ibu.
“Karena saya bertanggung jawab kepada anak-anak...,”
kata saya tidak melanjutkan kalimat. Ya, saya baru ingat, Dewi sangat dicintai
murid-muridnya. Dewi itu pintar, menerangkan pelajaran gampang dimengerti
murid-muridnya. Apa yang mesti saya bilang kepada anak-anak bila saya pulang
tanpa Dewi?
“Bilang saja Dewi pergi bersama pacarnya.”
Saya terkejut. Saya jadi teringat pacar Dewi. Dewa
namanya. Seorang lelaki yang tampan dan bertanggung jawab. Dia sangat mencintai
Dewi. Seperti juga Dewi sangat mencintainya. Sebentar lagi mereka merencanakan
menikah. Bagaimana jadinya percintaan mereka bila saya pulang tanpa Dewi?
“Takut ya?” tanya si ibu lagi.
“Oh, saya bukan takut. Tapi saya bertanggung jawab.
Saya harus menemukan Dewi.”
“Tanggung jawab kepada orang lain? Ibunya Dewi,
pacarnya, muridnya. Apa bila tidak ada mereka kamu tidak mencari Dewi?”
Saya termenung. Ya, harus diakui, saya tidak akan
tenang bila saya tidak menemukan Dewi. Dewi adalah teman bermain sejak kecil.
Kami tidak pernah berantem. Bila Dewi mempunyai makanan, katanya saya adalah
yang paling diingatnya. Saya pun begitu. Bahkan saya berani bilang, barang
apapun milik saya, setengahnya adalah milik Dewi.
Dewi juga pencinta binatang. Mata Dewi akan
berkaca-kaca bila melihat kucing liar yang kurus dan tubuhnya penuh luka atau
anjing liar yang terduduk lemas kehausan dan kelaparan. Saya bisa membersihkan luka
binatang dan mengeringkannya berkat Dewi. Jadi harus diakui, saya tidak bisa
melakukannya tanpa Dewi.
Dewi adalah sosok yang bangga dengan hidup yang
bersih. Berkali-kali hasil ujian pns ada kemungkinan Dewi itu masuk hitungan
sebagai yang lulus. Sudah tiga orang yang mendatangi Dewi setelah ujian pns itu
dilakukan. “Dewi itu sebenarnya bisa diterima, hasil ujiannya termasuk ke dalam
kuota yang diterima,” kata orang itu. “Tapi kami tidak menjamin bila ada
permainan di belakang. Jadi saya beritahukan, melalui jalan belakang, karena
saya kasihan kepada Dewi, pertahankan posisinya dengan uang pengaturan. Hanya
sekedarnya saja, untuk uang lelah yang mengatur. Dua puluh juta saja cukup,
dibayarkan nanti setelah ada pengumuman. Dewi sendiri kan tahu, saat ini tarif
jalan belakan untuk jadi pns sampai seratus juta rupiah.” Tapi Dewi tidak pernah
mendengar penawaran seperti itu. Dia lebih memilih mengajar dengan uang honor
dua ratus ribu rupiah saja. Sikap itulah yang membuat saya bangga kepadanya.
“Harus diakui, Dewi adalah segalanya bagi saya,”
kata saya kepada ibu pedagang oleh-oleh itu. “Karenanya saya ikut ke sini.
Karena saya tidak yakin Ibu tidak tahu apa-apa tentang Dewi. Bicaralah terus
terang, Bu, ke mana Dewi pergi?”
Si ibu pedagang oleh-oleh itu balik terkejut.
Beberapa jenak dia memandang saya.
“Ya, Dewi memang pernah ke sini. Tapi tidak lama.
Hanya mampir. Selanjutnya dia pergi lagi.” Si ibu itu menarik napas panjang,
seolah-olah berat mengatakannya. “Dia ingin mencari sesuatu yang selama ini
dicarinya.”
“Apa yang dicarinya?” tanya saya cepat.
“Sebuah hiasan dinding. Hiasan degan huruf
kaligrafi.”
Saya pun pergi ke kampung pengrajin kaligrafi.
Sebuah perjalanan yang tidak mudah. Melalui tepi hutan, menyeberang sungai,
menuruni jurang. Pantas saja si ibu penjual oleh-oleh itu menyarankan saya membawa
nasi dan ikan sebagai bekal. Tapi saya menolaknya. Pikiran dan perasaan saya
terlalu penuh oleh keinginan segera bertemu Dewi.
Di sebuah kampung saya terpesona dengan seorang
wanita yang sedang menjemur kertas-kertas daur ulang. Rambutnya yang sepunggung
teruray indah. Tatapan matanya sangat teduh. Senyumnya bersahabat. Itu semua
milik Dewi. Dewi yang punya kelebihan seperti itu.
“Maaf numpang tanya,” kata saya. “Apa tahu dengan
yang namanya Dewi?”
“Dewi yan rambutnya sepunggung dan selalu terurai
indah?”
“Ya, betul sekali.”
“Dewi yang matanya begitu indah dihiasi dengan
bulu-bulu mata yang lentik?”
“Ya, betul.”
“Dewi yang selalu tersenyum bersahabat?”
“Ya.”
“Kemarin dia memang ke sini. Dia memesan hiasan
dinding kaligrafi. Tapi setelah selesai, dia pergi dan lupa membawa hiasan
pesanannya.”
Saya memandang hiasan pesanannya. Pigura memanjang
itu pinggirnya diukir indah. Warna emas peliturnya memantulkan cahaya gemerlap.
Dan huruf kaligrafinya tertulis indah: “Man arafa nafsahu faqad arafa Rabbahu”
Waktu itu juga saya pamitan. Perhiasan dinding
bertuliskan huruf kaligrafi itu saya bawa. Saya harus secepatnya mencari Dewi.
Dia akan senang bila tahu saya membawa pesanannya yang tertinggal. Tapi
perjalanan pulang tidaklah mudah. Melalui jalan setapak di pinggir hutan,
menyusuri pinggir sungai, menuruni jurang, jalan kampung berbatu yang seperti
tanpa ujung. Saya baru ingat sudah beberapa hari selama mencari Dewi saya makan
seadanya. Di pinggir sebuah desa saya terjatuh. Beberapa saat saya tidak ingat
apa-apa.
Ketika siuman sudah banyak orang mengelilingi saya.
Sayup-sayup saya mendengar seseorang berkata.
“Ini ada KTP-nya. Asalnya dari luar kota. Namanya
Dewi....”
**
Pamulihan 8 Juli 2015
0 Response to "Cerpen Tribun Jabar: DEWI"
Posting Komentar