PUNUK KEBANGGAAN
Lampung Pos, 17 April 2016
Tata adalah unta
muda yang sedang jengkel. Jengkel dengan tubuhnya. Setiap makan banyak dari
punggungnya menyembul punuk. Semakin banyak makan semakin tinggi punuk itu.
“Haha... punukmu
itu seperti gunung!” ejek Dada si kuda ladang. “Ayo makan yang banyak, nanti
punukmu bisa seperti galah. Kita tidak akan kesusahan lagi bila ingin memetik
buah kurma, haha...!”
“Si punggung
berpunuk, hehe... binatang yang aneh, ya?” komentar keledai.
Tentu saja Tata
kesal dengan ejekan seperti itu. Makanya dia tidak mau makan dan minum yang
banyak. Meski setiap makan perutnya susah merasa kenyang. Maunya makan terus
dan minum terus. Tapi setiap bercermin di air oase dan melihat punuknya mulai menyembul, Tata
langsung menghentikan makan dan minumnya.
“Kamu ini aneh,
Tata,” kata ibunya. “Kenapa tidak meneruskan makannya?”
“Saya sebal. Bu.
Setiap makan banyak, punuk ini semakin menyembul.”
Ibunya tertawa. “Begitulah
kita, Tata,” katanya sambil mengusap punggung anaknya.
“Kalau makan dan minum yang banyak pasti punuk kita menyembul. Itu adalah kehebatan kita. Binatang lain tidak ada yang mempunyai punuk.”
“Kalau makan dan minum yang banyak pasti punuk kita menyembul. Itu adalah kehebatan kita. Binatang lain tidak ada yang mempunyai punuk.”
“Itulah sebabnya
Tata sering diejek teman-teman. Hanya Tata sendiri yag mempunyai punuk. Kita
ini binatang yang aneh!”
Ibunya tersenyum.
“Kamu belum tahu punuk ini sangat berguna. Kita bisa mnyimpan makanan yang
banyak di punggung, ya berupa punuk ini,” katanya lagi dengan suara yang
lembut.
Tapi Tata masih
cemberut. Untungnya teman-temannya kemudian memanggil, mengajaknya bermain di
padang rumput.
Suatu hari seorang
saudagar kaya bermaksud mengirim barang-barang berharganya ke negeri seberang
yang sedang tertimpa bencana. Masalahnya perjalanan yang mesti ditempuh melalui
padang pasir yang ganas.
“Diperkirakan
perjalanan yang akan ditempuh sepuluh hari,” kata seorang pengembara. “Tentu
tidak gampang melewati sepuluh hari di gurun yang gersang. Panasnya bisa
mencapai 46 derajat celcius. Gurun pasirnya juga membahayakan.”
Semua binatang yang
ada di sekitar oase itu ditawari untuk mengangkut barang-barang berharga. Tapi semuanya
menggeleng. Membayangkan panasnya saja mereka sudah ngeri. Apalagi sepuluh hari
tanpa makanan dan badai pasir yang bisa menenggelamkan.
“Kami akan mencoba
mengangkutnya,” kata Punta, unta yang dituakan dan dihormati oleh seluruh unta.
“Asal siapkan juga persediaan kami.”
Tata tentu saja
merasa cemas. Apalagi dia termasuk unta yang diajak melakukan perjalanan
penting ini.
“Jangan khawatir,
Tata,” kata ibunya. “Kita ini binatang yang hebat. Turuti saja petunjuk dari
Punta. Dia itu unta yang berpengalaman dan pengetahuannya luas.”
Sehari sebelum
berangkat unta yang akan melakukan perjalanan berkumpul.
“Pertama yang harus
kita lakukan adalah makan dan minum sebanyak-banyaknya,” kata Punta. “Kita bisa
makan sebanyak seperlima dari berat badan kita.”
Mereka pun makan
rumput yang disediakan. Punuk mereka lalu menyembul meninggi di punggungnya.
Ada unta yang berpunuk satu, ada juga
yang berpunuk dua. Setelah siap, rombongan unta pun berangkat.
Setelah jauh
menempuh padang pasir udara semakin terasa panas. “Empat puluh lima derajat
celcius” kata Punta. “Tapi tenang saja. Kulit kita tebal, kita kuat terhadap
panas.”
“Tapi Punta,” kata
Tata tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. “Bagaimana kalau badan kita terus
berkeringat, kita bia dehidrasi, kekurangan air.”
“Punuk kita ini
nanti akan mencair. Selain menyediakan sumber tenaga pengganti makanan, juga
sumber air.” Punta menerangkan. “Di lambung kita juga ada kantung air. Kantung
ini bisa mencegah keluarnya keringat yang berlebihan.”
Perjalanan pun
berlanjut. Siang berganti malam. Setelah lelah mereka beristirahat, lalu
melanjutkan lagi perjalanan. Suatu siang angin berhembus kencang.
“Kita bersiap,
badai pasir akan datang,” kata Punta. “Kelopak mata kita itu ada tiga lapis,
bulu mata ada dua lapis. Katupkanlah semuanya agar bisa menahan badai pasir.”
Badai pasir itu
kemudian datang. Angin kencang dan pasir panas yang beterbangan menerjang apa
saja. Tapi rombongan unta yang terduduk di pasir itu tidak bergeming. Setelah
badai pasir berlalu, mereka bangun. Butiran pasir berjatuhan dari tubuh mereka.
Lalu mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah sepuluh
hari perjalanan rombongan unta itu sampai ke negeri tujuan. Mereka disambut
gembira sultan dan seluruh rakyat yang sedang tertimpa bencana. Mereka pun
disediakan makanan dan minuman yang banyak. Setelah cukup beristirahat mereka
pulang.
Tentu saja Tata
sangat senang ikut serta dalam perjalanan penting membantu yang sedang tertimpa
bencana. Mereka disanjung dan dipuji semua penduduk negeri.
“Ini semua berkat
punuk ini,” kata Tata kepada teman-temannya. Teman-temannya mengangguk tanda
mengerti. Tata senang tidak ada lagi yang mengejek punuknya. Dia sekarang malah
bangga mempunyai punuk di punggungnya. ***
0 Response to "PUNUK KEBANGGAAN"
Posting Komentar