LELAKI YANG GELISAH
Nova, 28 Nopember 2001
Dari pinggir kaca nako, di antara
celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah.
Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku
celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksudnya remaja yang bisa
jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu?
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan
keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi
mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa
beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan
Yudi, anak saya? Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah
menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah
semua.
Tapi mengingat peristiwa buruk itu
bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini,
pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami
saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi
Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu
memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang
terbuka. Siapa saja bisa masuk. Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk?
Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki?
Saya sedikit lega saat anak muda itu
berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang
menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian
untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka
seperti tadi. Tapi di jaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang
rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari
persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was
karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah,
bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk
menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi
ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak
itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan
badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya
memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah
bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu
mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk
dengannya.
Tapi anak muda itu tidak lama di
teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas
pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
**
Saya pernah melihat anak muda yang
gelisah itu di jembatan penyebrangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu.
Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan
penyebrangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak
lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu,
meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai
di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan
bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan
si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas
pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang
selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada
yang berkurang. Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam
dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapapun saya pikir akan
mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini,
mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak
lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke
kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya
baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya
itu. Isinya seperti ini:
“Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya
saya hanya ingin mengembalikan dompet saja, tapi saya tidak punya tempat untuk
mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak
mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat
sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu, saya
berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat
saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar
sembunyi-sembunyi itu. Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak
berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya
membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli
beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih
keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja
jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil
hiburan) saya ngamen.
Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan
saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap.
Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum
pernah tebakan Bapak tepat. Lagipula Emak yang taat beribadah itu tidak akan
mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil
marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan
begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak
memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti
bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya,
sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa.
Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin
sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam
yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke
dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan
saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di
warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali
makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran
tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bis
kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin
malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat
Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan
penyebrangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya
gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih. Saya segera mendatangi Emak dan
mengajaknya ke dokter.
Tapi Ibu, Emak malah menatap saya
tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin
mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak
bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya
begitu saya selesai bercerita. Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air.
Emak menangis.
Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin
berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih
sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi
pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena
orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya.
Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
**
Surat tanpa tanda tangan itu berulang
kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan
gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen.
Di bis-bis kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan
lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya
menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon
rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana
itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan
perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan
membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak
segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja. Kang
Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi
mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi
keiginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali
makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dsb. Saya menolaknya meski Kang
Yayan bilang tidak apa sekali-sekali.
Saat saya ulang tahun, Kang Yayan
menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat
makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu bi Nia, lebih
seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya,
nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan
pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami
kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama.
Diam-diam airmata mengalir di mata saya. Santi menghampiri saya dan bilang,
”Mama, saya bangga jadi anak Mama.”
Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya. **
Cisitu-Dago, September 2001
0 Response to "LELAKI YANG GELISAH"
Posting Komentar