GERIMIS BUNGA


Kedaulatan Rakyat, 8 November 2015 
Ingin membaca cerpen ini dalam bahasa Sunda? Klik saja DI SINI


Senja yang muram. Gerimis mengekalkan sunyi. Padang Kurusetra yang sejak pagi sampai siang menjadi tempat bergolaknya segala suara dendam, amarah, amuk, kini sunyi. Mayat, potongan tubuh, tameng, tombak, pedang, gada, berserakan tidak beraturan. Darah yang mengering mencair kembali ditimpa gerimis, dibawa angin mengabarkan bau yang mengerikan.
Karna memandang Kurusetra dengan hati yang cemas. Hati yang lebih muram dibanding senja. Besok pagi dia harus memimpin pasukan Astina, menjadi panglima perang. Dia yakin dengan kemampuannya. Ilmu panemu yang linuwih telah digenggamnya. Ilmu yang tidak menyangsikan dirinya sebagai seorang ksatria.
Tapi kenapa hatinya begitu cemas, begitu muram, begitu tidak jelas perasaannya? Padahal tadi, sempat senyum indah tersungging di bibirnya. Dalam pandangan Karna, gerimis itu seperti berjatuhannya bunga-bunga indah. Alam seperti yang tahu apa yang ada di kedalaman hatinya.
“Engkau bukan siapa-siapa, Anak Sais Kereta,” bisik sebuah suara. Suara yang begitu jelas menyelusup ke dalam hatinya. Atau suara itu memang ada di dalam hatinya?
“Engkau bukanlah Pandawa, dan juga bukan Kurawa.”
Karna tersenyum. Sudah tidak ada lagi keinginan di dalam hatinya untuk diakui sebagai bagian dari Pandawa atau dari Kurawa. Kedua keluarga ksatria itu berlainan dengan dirinya. Kunti Nalibrata, ibu Pandawa, memang pernah mengakuinya sebagai anak. Tapi pengakuan itu membuat hati Karna semakin hancur. Hancur diobrak-abrik nasib.
“Engkau berada di dalam hati Ibu yang paling dalam, Nak,” kata Kunti sambil memeluknya. Airmatanya berurai tidak tertahan. Airmata yang jebol setelah bertahun-tahun dipendamnya. “Bagian hati Ibu yang tidak bisa dimasuki oleh siapapun, juga oleh Pandawa, hanya ada engkau di situ.”
Karna menjatuhkan dirinya ke pelukan ibunya. Hatinya yang lelah sesaat ingin tenang, ingin istirahat. Tapi hanya sesaat. Karena kemudian ibu Kunti memintanya berjanji untuk tidak membunuh Pandawa di Kurusetra. Permintaan yang semakin menghancurkan hatinya. Meski Kunti memintanya dengan airmata yang paling mengharukan.
“Bagaimanapun engkau adalah anak Sais Kereta,” bisik suara lagi di dalam hati Karna. Bisik yang tidak pernah diakuinya seratus persen. Dia mencintai dan menghormati ibu dan bapak angkatnya. Tapi hatinya merasa dia bukan bagian dari kaum mereka.
Ilmu panemu yang cepat diserapnya yang membedakan itu. Ilmu yang kemudian diakui Kurawa dan menempatkannya menjadi nayaka praja Astina yang tinggal di Awangga. Tapi Karna merasa bukan bagian dari Kurawa. Hatinya selalu menolak setiap siasat sesat yang dijalankan Kurawa. Peristiwa Bale Gala-Gala dan Pandawa Adu Dadu menjadi saksi penentangannya terhadap Kurawa.
“Ksatria itu bukan golongan,” bisik sebuah suara di dalam hatinya. “Tapi hati yang bening, bijak, dan tidak mengenal takut menghadapi apapun sepanjang berada di bagian yang benar.”
Tapi setiap mengingat nasibnya, Karna merasa ngeri, merasa takut, dan hancur. Padahal dia sudah menjalani nasib buruk itu sejak dilahirkan. Ketika tubuh bayinya terbungkus kain, hanyut dalam kotak kulit di sungai, perjalanan terjal itu telah dimulai. Istri sais kereta kemudian menemukannya, menyayanginya, dan mengadopsinya.
Karna selalu melawan nasib buruk itu dengan hati yang bersih. Dia tidak seperti Kurawa yang licik meski menjadi adipati di Astina. Dia tidak dendam meski Pandawa tidak mengakuinya sebagai saudara. Dia tidak protes meski ibunya meminta sesuatu yang mengerikan, permintaan seorang ibu yang paling membabi-buta.
Karna tersenyum memandang padang Kurusetra yang muram. Besok dia harus maju memenuhi perang tanding melawan Arjuna. Dia tahu, dia akan kalah. Pertanda alam telah dirasakannya. Bukan hanya permintaan ibunya yang memberatkan dan menghancurkan hatinya. Tapi bola nasib yang terus bergulir masih menggulung dirinya.
Karna ingat dengan gurunya, Rama Bargawa, yang telah mengusirnya, menganggap dirinya berdusta. Karna yakin, ada sesuatu dengan gurunya. Sejak lama, sejak awal dia datang berguru. Keyakinan itu sekarang datang lagi saat perang tanding akan dimulai. Dan nyatanya ilmu yang diberikan Rama Bargawa itu tidak lengkap. Mantra sakti yang diberikannya bukan versi yang lengkap. Itu juga yang membuatnya kalah dalam perang tanding.
Tapi Karna tidak gentar dengan semuanya. Hatinya boleh hancur, nasibnya boleh memporak-porandakan perasaannya, tapi keyakinannya tetap teguh.
“Seorang ksatria itu, seorang yang linuwih itu, bukan ditentukan dari mana dia berasal,” bisiknya. “Tapi sikap teguh memegang kebenaran yang menentukan.”
Dan alam tidak pernah bohong dalam merespon perasaan. Gerimis itu dalam penglihatan dan perasaan Karna adalah guguran bunga yang begitu indah. Bunga-bunga yang tentunya berasal dari nirwana. **

3 Agustus 2015


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "GERIMIS BUNGA"

Posting Komentar