SENYUM MANG SAMUN


Inilah Koran, 5 Juli 2015
Maaf tidak ada e-papernya. Bagi yang kebetulan punya korannya atau e-pappernya, saya berharap mengirimkannya ke blog ini. Trima kasih.

Harun tahu betul arti senyum di bibir Mang Samun. Senyum yang selalu tersungging. Indah. Seperti setangkai bunga yang sedang mekar. Tidak pernah layu dan tidak pernah kuncup lagi. Bunga yang tidak mengenal musim dan cuaca.
Senyum Mang Samun juga seperti itu adanya. Saat hujan turun, atau matahari memanggang, Mang Samun selalu tersenyum. Saat sedang berbicara dengan seseorang, dua orang, atau dalam kerumunan, Mang Samun selalu tersenyum. Menurut Harun, yang paling berbahaya, Mang Samun tersenyum saat tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Senyum itulah yang seringkali mendatangkan gunjingan.
“Syarafnya sudah kena,” kata seseorang sambil menyilangkan telunjuk di jidatnya.
“Karena apa?” Orang yang di sebelahnya bertanya.
“Entahlah. Katanya istrinya kabur, kedua anaknya meninggal. Semuanya karena kemiskinan.”
Butuh waktu bertahun-tahun bagi Harun untuk meyakini bahwa senyum Mang Samun tidak berbahaya. Meski senyum itu mekar saat Mang Samun sendirian.
**
Harun masih ingat ketika suatu hari dia tersaruk-saruk berjalan menyusuri jalanan kampung yang kering dan berdebu. Setelah lelah mengelilingi kampung Pasir Sampeu, mencari rumah sederhana atau kamar pun tidak apa yang dikontrakan, Harun disambut senyum Mang Samun yang sedang duduk di sebuah gubuk di tengah sawah.
Dari Mang Samun kemudian Harun mendapatkan sebuah rumah di tengah kebun yang dikontrak hanya tiga ratus ribu rupiah saja per tahun. Rumah kecil yang hancur. Jendelanya hilang diganti dengan triplek yang dipaku permanen. Nakonya berkarat, kacanya berlepasan. Gentingnya yang sudah tebal ditumbuhi lumut banyak yang belah, bocor di mana-mana bila hujan.
Tapi tidak ada pilihan buat Harun saat itu. Besoknya dia memboyong istri dan anak semata wayangnya. “Kita di sini dulu, istirahat barang sehari dua hari, baru kemudian berpikir dan menyusun rencana,” katanya kepada istrinya. Rian, anaknya, waktu itu baru lima tahun.
Saat itu usaha Harun mengalami kebangkrutan total. Dibilang total, karena setelah rumah dan beberapa roda bakso yang dipunyainya dijual, utangnya masih belum tertutup. Sementara puluhan roda bakso yang sempat menandainya sebagai pengusaha muda yang sukses, diklaim oleh sahabatnya, parner bisnisnya, sebagai milik pribadi. Harun tidak mengerti. Tapi sudahlah, seperti cerita bangkrut lainnya, tidak ada yang terbayangkan pada awalnya.
Saat itu Harun masih belum perhatian terhadap senyum Mang Samun. Dia mengira Mang Samun tersenyum karena ramah. Mang Samun tinggal di gubuk di tengah sawah itu. Gubuk kecil, berbilik bambu, tanpa pintu.
Suatu sore menjelang maghrib Harun harus mendatangi Mang Samun. Bagaimanapun Harun harus mendatangi Mang Samun. Dengan ucapan yang berat, terbata-bata, Harun berucap, “Mang, apakah Mang punya pohon singkong? Saya meminjam barang sepohon, dari pagi anak-istri saya belum makan.”
Mang Samun tersenyum. Saat itu Harun merasa senyum Mang Samun begitu aneh. Ada yang tersinggung di dalam hatinya. Tapi dia harus menelannya. Dia butuh. Mang Samun adalah satu-satunya orang yang akrab dengannya di kampung tepi hutan ini. Adzan berkumandang dari masjid di tengah kampung.
Bada maghrib Harun mengikuti Mang Samun ke puncrut. Perjalanan yang sangat melelahkan. Dari pagi dia hanya minum air putih. Keringat membasahi seluruh badannya. Keringat yang dingin. Keringat yang dihasilkan dari orang yang lapar. Saat matanya berkunang-kunang dan kepalanya pening, Harun melihat senyum Mang Samun dalam keremangan. Tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan hatinya saat itu. Karena kemudian dia tidak ingat apa-apa.
Saat sadar dia sudah berada lagi di gubuk. Sekarung singkong bersandar di tiang gubuk. “Ayo pulang, biar Mang Samun yang bawa singkong,” katanya. “Singkong ini tidak dipinjamkan. Bawa saja.”
**
Harun merasa makan singkong malam-malam bersama istri dan anaknya itu adalah makan terenak yang pernah dirasakannya. Mereka pernah makan-makan di restoran-restoran mahal, hidangan tradisional atau impor, di kafe-kafe hotel; tapi belum pernah mereka makan senikmat malam itu.
“Abi, kenapa kita tidak berjualan keripik singkong saja,” kata istrinya. Harun tersenyum.
Besoknya dengan semangat dan wajah berseri Harun mendatangi lagi Mang Samun dan menceritakan maksudnya berjualan keripik singkong.
“Gusti Alloh selalu tersenyum saat sedih dan senang,” kata Mang Samun sambil tersenyum. “Tapi kita seringkali melihatnya saat bersedih.”
Harun tidak mengerti apa yang dikatakan Mang Samun. Tapi Harun menyimpan ucapan terima kasih tidak terkira kepada Mang Samun, karena hasil kebun singkong Mang Samun di puncrut yang hanya sepuluh bata itu menjadi modal pertamanya. Setiap subuh Harun berjalan dua kilo meter sampai ke jalan raya, lalu naik bis kota untuk mendatangi kios-kios bakso kenalannya, menitipkan keripik-keripik singkongnya.
**
Mang Samun tidak pernah bercerita bahwa dia pernah menjadi penjaga masjid kampung. Tapi kemudian diusir oleh DKM karena Mang Samun sering tersenyum sendiri. Mang Samun juga tidak pernah bercerita bahwa kedua anaknya meninggal dan istrinya kabur entah ke mana. Semuanya terjadi ketika kemiskinan menderanya.
Harun mengetahui semuanya dari orang-orang kampung Pasir Sampeu yang semakin ingin akrab dengannya. Mereka mengajak Harun dalam berbagai kegiatan. Rapat RT, RW, kerja bakti, jalan-jalan, dan lainnya.
Ya, semuanya karena Harun semakin dikenal sebagai pengusaha keripik singkong. Anak muda pengangguran dan ibu-ibu rumah tangga banyak yang dipekerjakan di pabrik singkongnya. Penjualannya tidak saja dititipkan di kios-kios bakso, tapi juga dipasarkan online. Keripik singkong Harun cepat terkenal dan banyak dicari pelanggan.
Setahun kemudin Harun pindah lagi ke Bandung. Pemasaran keripik singkongnya yang semakin meluas tidak lagi bisa dilakukan dari kampung Pasir Sampeu yang terpencil. Pabrik keripik singkong yang menghabiskan dana satu milyar kemudian dibangun di Bandung. Bagi Harun, uang sudah bukan masalah lagi.
**
Di dalam hati Harun, selalu ada keinginan untuk mengucapkan terima kasih kepada Mang Samun. Ucapan terima kasih yang tidak sekedar kata-kata atau mengganti hasil kebun singkongnya yang dulu dipakai modal awal. Harun tahu, kalau dirupiahkan, sekitar dua juta modal dari Mang Samun itu.
Suatu hari, menjelang maghrib, Harun mendatangi gubuk Mang Samun. Tas ransel digendongnya.
“Mang, terima kasih atas bantuan Mang Samun selama ini,” kata Harun sambil menyerahkan tas gendong berisi uang lima puluh juta rupiah. “Saya membawa hadiah buat Mang Samun. Bukan sebagai penukar yang telah Mang Samun berikan kepada saya. Mau dibelikan tanah, membuat rumah, atau ditabung. Terserah Mang Samun.”
Mang Samun hanya tersenyum.
Seminggu kemudian Harun mendengar kabar, panitia pembangunan masjid di kampung Pasir Sampeu gempar. Mereka menemukan uang di dalam kotak amal sebanyak lima puluh juta rupiah. Tentu saja Harun terkejut. Hari itu juga dia mendatangi Mang Samun di gubuknya. Begitu datang, Mang Samun menyambutnya dengan tersenyum.
“Gusti Alloh selalu tersenyum saat sedih dan senang,” kata Mang Samun sambil tersenyum. “Kita wajib membalas senyumnya.”
 **
Sejak itu orang-orang sering melihat Harun tersenyum sendiri. Saat Harun melihat orang-orang turun dari pesawat terbang, keluar kereta api, turun dari bis, berlalu-lalang di jalanan, di pertokoan; Harun melihat senyum yang begitu indah. Ada jutaan orang yang membawa jutaan nasib, jutaan masalah, jutaan kisah, jutaan sedih-senang, jutaan cara menyikapinya. Tapi hanya orang yang melihat senyum Tuhan yang merasakan begitu indahnya hidup.
Karenanya Harun selalu tersenyum. Membalas senyum Tuhan. Meski orang-orang di sekitarnya mulai berbisik-bisik.
“Syarafnya sudah kena,” kata seseorang sambil menyilangkan telunjuk di jidatnya.
“Karena apa?” Orang yang di sebelahnya bertanya.
“Dia kaya mendadak. Dia pemilik keripik singkong merk Mang Samun yang terkenal itu.” ***

Pamulihan, 11-12 Januari 2015

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SENYUM MANG SAMUN"

Posting Komentar