NAMAKU BUDIMAN
Pikiran Rakyat, 31 Januari 1993
Namaku Budiman. Sederhana dan enak didengar. Kata bapak, sengaja aku
diberi nama itu biar menjadi manusia yang suci, suka menolong, memberikan
penerangan bagi yang kegelapan, dan sejenisnya.
Dan apa yang diharapkan dari namaku itu sedikitnya sudah menjadi
kenyataan, setidaknya anggapan masyarakat kampungku seperti yang diceritakan
Nur lewat surat-suratnya. Dua bulan sekali aku selalu mengirim surat dan uang
ke kampungku. Kalau kemudian Nur menyatakan ada kebutuhan lain, atau ada pesan
dari warga kampung yang lainnya, lewat surat balasan tentunya, aku akan
mengirimnya dua bulan berikutnya.
Dalam surat terbaru, Nur menyatakan bahwa Kang Dahlan yang aku bantu
pembuatan mesjidnya dan Pak Dasli atas nama kelompok petani yang aku belikan
semprotan hama, mengucapkan terima kasih. Mereka menanyakan kapan aku pulang,
sekedar menengok kampung halaman. Aku tahu, permintaan itu bukan hanya datang
dari Kang Dahlan dan Pak Dasli atas nama warga kampung, tapi terlebih adalah
permintaan Nur, istriku, dan emak. Mungkin emak dan Nur telah bosan memintaku
pulang sehingga permintaan warga kampung dijadikan alasan permintaannya.
Sebenarnya setiap Nur dan emak memintaku pulang lewat suratnya, aku
selalu berniat pulang. Aku rindu Nur, istriku yang selama beberapa tahun tak
pernah kutengok. Juga emak yang waktu aku kecil mengajariku ngaji dan selalu
mendongeng setiap malam sampai aku tertidur di pangkuannya.
Masih ingat aku bagaimana emak bercerita tentang kancil yang cerdik dan
buaya yang rakus, Sangkuriang yang sakti tapi mencintai ibunya secara salah dan
Malinkundang yang tidak mengakui orangtuanya. Setiap mengingat masa-masa itu,
baru aku rasakan, betapa sayangnya emak kepadaku. Demi aku, emak rela tidak
kawin lagi, karena takut ayah tiri tidak menyayangiku. Padahal sejak ayah
meninggal, aku tahu, banyak yang mendekati emak untuk dijadikan istrinya.
Tapi niat untuk pulang yang semula begitu menggebu, setelah tiba waktu
pengiriman uang, selalu saja terhenti. Dan akhirnya aku hanya menulis surat
yang menyatakan bahwa aku sehat-sehat saja dan tak sempat pulang, sibuk. Di
akhir surat selalu aku tuliskan, siapa tahu dua bulan yang akan datang aku bisa
pulang, aku rindu emak dan Nur.
Surat dan uang yang selalu aku kirim dua bulan sekali, dibawa oleh kurir
kepercayaanku. Dia masih sekampung denganku. Namanya Junaedi.
Dari dialah aku banyak tahu perubahan di kampungku. Sawah-sawah dan
kebun tumbuh subur. Setiap panen orang-orang menjual hasilnya ke kota kabupaten
dan pulangnya mereka membawa kebutuhan sehari-hari. Beberapa keluarga, termasuk
emak dan Nur, telah mempunya televisi. Jarak kampungku denga kota kabuten yang
jauh, sehari penuh perjalanan, semakin dekat setelah jalan diperbaiki dan mobil
hilir mudik ke sana. Setiap sore ibu-ibu melihat kuis atau telenovela.
Malamnya, terutama malam Minggu, bapak-bapak melihat wayang golek di TVRI.
Menurut dia, kampungku telah berbeda jauh dengan waktu aku
meninggalkannya. Waktu itu, kemarau panjang menyebabkan sawah dan ladang
kekeringan. Persediaan makanan habis dan kelaparan mulai mewarnai kehidupan
kampungku. Masih terbayang dalam benakku, kelaparan telah mengubah manusia
menjadi binatang yang paling buas. Rebutan makanan yang tersisa seperti anjing
diberi tulang belulang. Sebagian penduduk mulai makan makanan yang tidak biasa
dimakan. Mereka manangkap kodok, ular, tikus, dan menebang pohon pisang untuk
dimbil bonggolnya. Ayahku yang rela tidak makan demi aku dan emak, akhirnya
meninggal.
Untungnya waktu itu bantuan dari kecamatan datang. Waktu orang-orang
mengantarkan bantuan itu kembali ke kota kecamatan, aku ikut. Aku menjadi
pembantu di salah satu keluarga pegawai kecamatan. Setelah setahun, aku pergi
ke kota provinsi dan dengan gaji selama aku menjadi pembantu, aku dagang
asongan di stopan, kemudian dagang bakso.
Dengan penghasilan yang aku kumpulkan, aku pulang kampung dan mendapat
pujian dari warga kampung. Hal itu memang bisa aku pahami. Dari kampungku,
mungkin baru aku seorang yang berani pergi jauh untuk mencari napkah dan pulang
dengan mebawa keberhasilan. Sebagai orang yang berhasil, sudah tentu banyak
yang ingin mengambil menantu kepadaku. Pilihanku jatuh kepada Nur, teman
ngajiku sewaktu kecil dan mencari ikan-ikan mungil waktu sawah masih berair.
Setelah beberapa waktu menumpahkan kerinduan pada kampung halaman, aku
kembali ke kota untuk mencari napkah. Banyak yang ingin ikut kepadaku, tapi aku
katakan nantilah setelah aku berhasil. Aku hanya ditemani Junaedi, teman ngaji
dan berlatih silat sewaktu kecil.
Setahun dua tahun pertama aku masih sempat pulang menengok Nur dan emak.
Tapi setelah itu aku hanya bisa mengirim surat dan uang. Aku tak punya lagi
keberanian untuk pulang.
“Emak dan Nur menanyakan, kenapa kau sudah setahun tak pulang-pulang?”
kata Junaedi sepulang dia mengirim uang ke kampung.
“Kamu bilang aku sibuk?”
“Ya, begitulah alasanku.”
Hanya segitu kami bercakap. Kami memang jadi jarang bicara banyak.
Selain bertanya seperlunya, mengenai keadaan Nur, emak dan kampung, tak lagi
ada yang mesti dibicarakan. Kami sama-sama kecewa dengan peristiwa demi
peristiwa yang menjadikanku segan pulang kampung. Tapi semuanya mengalir apa
adanya, tanpa kami merencanakannya.
Bermula dari perekonomian juga yang sanggup membakar napsuku. Waktu itu
emak sakit. Aku perlu uang banyak untuk membayar perawatan emak di rumah sakit
kota kabupaten. Uang tabunganku habis, karena setelah aku menikah dengan Nur,
aku harus rutin mengirim uang. Aku tidak bisa lagi seperti dulu mengumpulkan
uang sedikit-sedikit.
Suatu malam, aku tak bisa membayar uang ‘keamanan’ yang biasa diminta
oleh kelompok ‘penguasa’ daerah tempat aku mangkal. Aku bilang aku butuh uang
banyak untuk mengobati emak yang sakit. Tapi para pemeras itu tak mau tahu.
Roda dorongku ditendang sampai terguling. Mie bakso berserakan, mangkok banyak
yang pecah, kompor menyala membakar rodaku karena minyaknya tumpah.
“Lihat tuh!” bentak si Cengos kepada pedagang-pedagang lainnya. “Nasib
kalian tak akan berbeda dengan itu bila tak mau membayar uang keamanan! Ngerti?”
Tiga orang temannya tersenyum sambil sesekali mengisap rokoknya.
Junaedi mencoba memadamkan api dengan air pencuci mangkok pedagang lain.
Api itu padam. Tapi panasnya terlanjur membakar kehormatan dan napsuku. Aku
hajar sekuatnya si Cengos sampai darah keluar dari hidung dan mulutnya. Tiga
orang temannya mengepungku. Tapi semuanya bukan apa-apa bagiku yang sejak kecil
telah dilatih silat dengan kekuatan luar dalam. Keempat pemeras itu babak belur
dan pulang dengan merayap. Tapi napsuku masih belum reda, apalagi setelah
melihat roda dorongku yang berantakan.
Malam berikutnya pemimpin keempat pemeras itu datang. Si Codet
memandangku meremehkan, lalu meludah. Tentu saja napsuku yang masih menyala
seperti yang diberi bensin. Si Codet aku terjang dengan jurus Harimau Menerkam
Mangsa. Si Codet yang telah berpengalaman berkelahi itu akhirnya tak berkutik
menghadapi gempuranku yang dibakar napsu. Dia babak belur. Hidungnya
berdarah-darah, beberapa kali muntah waktu aku tendang perutnya. Anak buahnya
tak ada yang berani melawanku.
Aku meminta uang pengganti roda dorong dan isinya. Dan untuk membeli
harga diriku yang tersinggung, aku memeras mereka. Aku kirimkan uang hasil
memeras itu untuk mengobati emak. Sejak itulah aku jadi pemeras para pemeras.
Dan Junaedi kemudian jadi tangan kananku. Meski dia tak begitu setuju dengan
pekerjaan baru itu, tapi dia tak punya kekuatan untuk menolak.
**
Namaku Budiman. Tapi kalau kalian datang ke sini, ke tempat kerjaku,
jangan tanyakan nama itu. Anak buahku tak akan kenal nama itu, kecuali Junaedi
yang kemudian suka dipanggil Edi Botak. Di sini aku biasa dipanggil si Badak.
Kalau ada yang menodong, mencopet, katakanlah namaku, maka para penodong itu
akan meminta maaf. Mereka adalah anak buahku yang setiap hari akan setor kepadaku.
Daerah kekuasaanku semakin luas setelah aku menumbangkan Joko Dodet,
penguasa terminal, dan Herry Macan, penguasa pasar grosir. Hampir setengah kota
sekarang aku kuasai. Aku disegani anak buahku. Tapi kekuasaanku seakan tak
berarti setiap aku mendapat surat dari Nur dan emak.
Aku selalu tak bisa untuk melepaskan pekerjaan yang sekarang. Kembali
menjadi pedagang bakso, artinya kembali diperas orang dan berpenghasilan
seadanya. Dari mana aku mengirim uang yang banyak bagi Nur dan emak? Dari mana
aku memberikan bantuan bagi warga desa yang membutuhkan sesuatu?
“Jadi pemeras mungkin yang terbaik bagi kita,” kata Junaedi suatu waktu.
Aku mengangguk. Tapi aku yakin, Edi pun sama-sama tak yakin dengan pilihannya.
Jadi pemeras telah membuatku segan untuk pulang ke kampung.
Dua tahun yang lalu, sewaktu Idul Fitri, aku pulang. Seluruh warga
kampung menyalami dan mengagumiku. Di mesjid, setelah sholat, Pak Dahlan atas
nama warga kampung, mengucapkan selamat kepadaku. Mereka bangga punya warga
sehebat dan sedermawan aku.
Di rumah Nur keheranan ketika melihat tatto di tangan dan dadaku. Aku katakan saja
bahwa itu jimat yang diberikan guruku di kota. Nur percaya dan tak lagi
bertanya. Tapi rasa percayanya itu justru yang menyiksaku. Sore-sore berikutnya
aku mendengarkan anak-anak membaca Al-Qur’an di mesjid. Di rumah, Nur dan emak
setiap selesai sholat Maghrib, membaca juga ayat suci itu.
Aku rasanya telah dilemparkan ke dunia yang menyiksa dengan segala
kelembutannya. Aku pergi kembali ke kota dan lama tak pulang. Setiap Nur
mengirim surat yang menyuruhku pulang, aku selalu ingin pulang dan rindu
suasana kampungku. Tapi begitu waktu pengiriman uang yang dua bulan sekali
sudah dekat, perasaan tersiksa itu selalu menghantuiku. Aku tak yakin dapat
menikmati suasana yang aku rindukan itu. Maka kalau sudah begitu, aku hanya
bisa menulis surat dan menyatakan bahwa aku baik-baik saja dan rindu untuk
pulang, tapi sibuk. ***
Dimuat di HU Pikiran Rakyat, tanggalnya lupa
0 Response to "NAMAKU BUDIMAN"
Posting Komentar